30 Oktober 2024

Perikatan Dan Perjanjian (Al 'Aqd)

PERIKATAN DAN PERJANJIAN (AL-'AQD) 

Pengertian Akad

Perikatan dan perjanjian dalam konteks fiqh mu'amalah dapat disebut dengan "akad". Kata akad berasal dari bahasa Arab yaitu al-'aqd bentuk jamaknya adalah al-'uqud yang mempunyai beberapa arti antara lain: 

Pertama, Mengikat (Ar-Rabith), yaitu:

جَمْعُ طَرَفَيْ حَبْلَيْنِ وَ يَشُدُّ اَحَدُهُمَا بِالْأَخَرِ حَتَّى يَتَّصِلا فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
"Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda." 

Kedua, Sambungan (al-'aqd), yaitu:

الْمَوْصِلُ الَّذِى يُمْسِكُهُمَا وَ يُؤَسِّكُهُمَا
"Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya." 

Ketiga, Janji (al-'ahd), sebagaimana yang dijelaskan AI-Qur'an dalam surat Ali Imran 76:
 
بَلٰى مَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ وَاتَّقٰى فَاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
"(Bukan demikian), sebenarya siapa yag menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa. Maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian akad paling tidak mencakup: 

  1. Perjanjian (al-'ahd)
  2. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
  3. Perikatan (al-'aqd)
Adapun secara istilah (terminologi) ada beberapa definisi (pengertian) akad, pengertian tersebut antara lain:

اِرْتِبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثْرَهُ فِيْ مَحَلِّهِ
"Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang berpengaruh pada objek periktan"

مَجْمُوْعُ إِيْجَابِ أَحَدِ الطَّرَفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الْأَخَرِ اَوِ الْكَلَامُ الْوَاحِدُ الْقَائِمُ مَقَامَهُمَا
"Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak"

مَجْمُوْعُ الْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ إِدَّعَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا مَعَ ذَلِكَ الْإِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
"Terkumpulnya persyaatan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum"

رَبْطُ أَجْزَاءِ التَّصَرُّفِ بِالْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ شَرْعًا
"Ikatan atas baguan-bagian tashorruf menurut syara' dengan cara serah terima"

Dalam akad pada dasarnya dititikberatkan pada kese­pakatan antara dua belah pihak yang ditandai dengan ijab­ qabul. Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara'. Karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepa­katan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari'ah Islam. 


Rukun-Rukun Akad 
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha ber­kenaan dengan rukun akad. Menurut jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas;
  1. 'Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dua orang atau lebih. Pihak yang berakad dalam transaksi jual bell di pasar biasanya terdiri dari dua orangyaitu pihak penjual dan pembeli. Dalam hal warisan, misalnya ahli waris bersepakat untuk mem­berikan sesuatu kepada pihak lain, maka pihak yang diberi tersebut boleh jadi terdiri dari beberapa orang.
  2. Ma'qud 'Alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang ada dalam transaksi jual beli, dalam akad hibah, dalam akad gadai dan bentuk-bentuk akad lainnya.
  3. Shighat al 'Aqd yang terdiri dari ijab dan qabul. Pengertian ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya da­lam mengadakan akad. Sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang lain, yang diucapkan setelah adanya ijab. Ada pun pengertian ijab-qabul pada sekarang ini dapat dipahami sebagai bentuk bertukamya sesuatu dengan yang lain, sehingga sekarang ini berlangsungnya ijab-qabul dalam transaksi jual beli tidak harus berhadapan (bertemu langsung). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-'aqd ialah: 
    • Shighat al-'aqd harus jelas pengertiannya, maka kata­-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak menimbul­kan banyak pengertian (bias), misalnya seseorang meng­ucapkan "aku serahkan benda ini". Kalimat tersebut masih belum dapat dipahami secara jelas, apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan atau titipan. 
    • Antara ijab dengan qabul harus bersesuaian, maka tidak boleh antara pihak berijab dan menerima (qabul) berbeda lafadh, sehingga dapat menimbulkan perseng­ketaan, misalnya seseorang mengatakan "aku serahkan benda ini sebagai titipan", kemudian yang mengucapkan qabul berkata "aku terima benda ini sebagai pemberian".
    • Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak­-pihak yang bersangkutan tanpa adanya unsur paksaan atau ancaman dari pihak lain.  
Sementara itu fuqaha dari kalangan Hanafiyah berpen­dapat bahwa rukun jual-beli itu hanya berupa shighat al-'aqd (ijab dan qabul). Menurut mereka 'aqid dan ma'qud 'alaih bukan termasuk rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Perbedaan ini timbul akibat perbedaan mereka dalam memahami antara pengertian rukun dan syarat.  Makna rukun menurut kalangan ahli fiqh dan ahli ushul fiqh: 

"Sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhili) dari sesuatu yang ditegakkannya"

Sesuai dengan pengertian di atas, maka rukun akad ada­lah kesepakatan antara dua belah pihak yaitu ijab dan qabul. Sedangkan pihak pelaku ijab dan qabul (menurut pengertian di atas) tidak termasuk dalam rukun dari perbuatannya, karena pelaku tidak termasuk bagian internal (dakhili) dari perbuat­annya. Sebagaimana seseorang melakukan ibadah sholat, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai rukun shalat. Namun demikian sebagian fuqaha seperti al-Ghazali (seorang ulama Syafi'iyah) dan Syihab al-Karakhi (seorang ulama Malikiyah) berpendapat bahwa 'aqid sebagai rukun akad dengan pengerti­an dia merupakan salah satu dari pilar utama dalam tegaknya kad.'

Adapun pengertian syarat menurut fuqaha dan ahl al­ ushul adalah:
 
"Segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal" 

Maksud dengan tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyruth (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyruth. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahl al ushul adalah

"Setiap peristiwa yang mana syara' mengaitkannya terhadap ada dan tidaknya sesuatu yang lain sedang ia bersifat eksternal".

Dengan demikian antara rukun, syarat dan sebab, meru­pakan bagian yang sangat penting bagi suatu akad. Bedanya rukun bersifat internal, sedangkan syarat dan sebab bersifat eksternal. Adapun perbedaan antara syarat dengan sebab ada­lah bahwasanya sebab selalu dikaitkan dengan ada dan tiada­nya musyabab, sedangkan syarat dikaitkan dengan tiadanya masyruth, tidak dikaitkan dengan masyruth

Syarat-syarat Akad 
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentu­kan syara' yang wajib disem purnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam: 
  1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
  2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pemikahan. 
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad: 
  1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap (orang gila, orang yang ber­ada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya) akadnya tidak sah.
  2. Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
  3. Akad itu diizinkan oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan 'aqid yang memiliki barang.
  4. Akad bukan jenis akad yang dilarang, sepeti jual-beli mulamasah (akad jual beli dimana pembeli wajib membeli jika menyentuh barang).
  5. Akad dapat memberikan faedah, maka tidaklah sah apabila akad rahn dianggap sebagai amanah.
  6. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab' tersebut dicabut (dibatalkan) sebelum adanya qabul.
  7. ljab dan qabul harus bersambung, jika seseorang melaku­kan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal). 

Macam-Macam Akad 
Adapun yang termasuk macam-macam akad adalah: 
  1. Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pemyataan akad yang diikuti dengan pelaksanan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
  2. 'Aqad Mu'alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang di­akadkan setelah adanya pembayaran. 
  3. 'Aqad Mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penangguhan pelaksana­an akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkataan tersebut sah di­lakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. 
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan, yaitu:  
  • Dalam keadaan muwadha'ah (taljih), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya, dalam ha! ini ada tiga bentuk: 
    1. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja, untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut dijual, seperti menjual harta untuk menghindari penguasa yang dhalim atau menjual harta untuk menghindari pembayaran hutang, ha! ini disebut mu'tawadhah. 
    2. Mu'awadhah terhadap benda yang digunakan untuk akad, seperti dua orang bersepakat menyebutkan mahar dalam jumlah yang besar dihadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita sepakat menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenar­nya telah sepakat dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga muwadha' fi al-badal
    3. Mu'awadhah pada pelaku (isim mustatir), ialah sese­orang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas nama­nya sendiri yang sebenarnya barang tersebut untuk keperluan orang lain, Seperti seseorang membeli mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperlu­an-keperluan lainnya, setelah selesai semuanya baru dia mengumumkan bahwa akad yang telah dilaku­kan sebenarnya untuk orang lain, pembeli sebenarnya hanya merupakan wakil dari pembeli yang sebenar­nya, hal ini disebut wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
  • Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main­ main, mengolok-olok (istihza') yang tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl terwujud dalam beberapa bentuk antara lain dengan muwadha'ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad, bahwa akad tersebut hanya main-main, a tau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; buku ini pura-pura saya jual kepada Anda" atau dengan cara lain yang menunjukkan adanya qarinah hazl
Kecederaan-kecederaan kehendak ialah karena:  
  • Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
  • Khilabah, ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda.
  • Ghalath, ialah persangkaan yang salah, seperti sese­orang membeli sepeda motor, dia menyangka sepeda motor tersebut masih dalam kondisi normal (baik), tetapi ternyata sepeda motor tersebut sudah turun mesin (rusak).

Disamping akad munjiz, mu'alaq dan mudhaf, pada dasar­nya macam-macam akad masih banyak jenisnya, tergantung dari sudut tinjauannya. Perbedaan-perbedaan tinjauan akad dapat diklasifikasikan dari segi: 
  • Ada dan tidaknya qismah pada akad, dalam segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
    • Akad musammah yaitu akad yang tel ah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual-beli, hibah, ijarah dan lain-lain.
    • Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetap­kan oleh syara' dan belum ditetapkan hukum-hukum­nya. 
  • Disyari'atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad dibagi menjdi dua bagian: 
    • Akad musyara'ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara' seperti gadai dan jual-beli.
    • Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual ikan dalam kolam atau anak binatang masih dalam perut induknya. 
  • Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi men­jadi: 
    • Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum ataupun khusus.
    • Akad fasidah yaitu akad-akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, baik dalam syarat umum ataupun khusus. 
  • Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad dibagi menjadi: 
    • Akad 'ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barangnya, seperti jual-beli. 
    • Akad ghair 'ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa disertai dengan penyerahan barangpun akad telah berhasil, seperti akad amanah. 
  • Akad ditinjau dari segi cara melakukannya, terbagi:
    • Akad yang harus dilakukan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan yang harus dihindari oleh dua orang saksi, wali maupun petugas pencatat nikah.
    • Akad ridha'iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan tetjadi karena kedua belah pihak saling meridhai, seperti yang terjadi pada akad umum­nya.
  • Berlaku dan tidaknya akad, dari segi mni dapat terbagi menjadi dua bagaian: 
    • Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
    • Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui oleh pemilik harta). 
  • Luzm dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat: 
    • Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh. Tetapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara' seperti thalak dan khulu'.
    • Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetuju­an jual-beli dan akad-akad lainnya. 
    • Akad lazim yang menjadi hal salah satu pihai, sepeerti rahn, orang yang menggadaikan sesuatu benda punya kebebasan kapan saja dia dapat melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
    • Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang menerima titipan atau orang yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
  • Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian:
    • Akad mu' awadhah yaitu yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual-beli.
    • Akad tabarru'at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah.
    • Akad yang tabarru'at pada awalnya dan menjadi akad mu'awadhah pada akhimya seperti qiradh dan kafalah. 
  • Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian: 
    • Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qiradh.
    • Akad amanah yang tanggung jawab kerusakan oleh pemilki benda, bukan oleh pihak yang memegang barang, seperti titipan (wadi'ah).
    • Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, dari segi yang lain meru­pakan amanah, seperti rahn (gadai).
  • Tujuan akad yaitu dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan: 
    • Bertujuan memiliki (tamlik), seperti jual-beli.
    • Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (per­kongsian) seperti syairkah dan mudharabah.
    • Bertujuan memperkokoh kepercayaan (tautsiq) saja, seperti rahn dan kafalah.
    • Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
  • Temporer (faur) dan berkesinambungan (istimrar), dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: 
    • Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksana­annya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksana­an akad hanya sebentar saja (temporer), seperti jual­beli. 
    • Akad istimrar disebut juga akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti 'ariyah. 
  • Ashliyah dan thabi'iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
    • Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa me­merlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual­ beli. 
    • Akad thabi'iyah yaitu akad yang membutuhkan ada­nya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada hutang. 

Akad dan Konsekuensi Hukumnya
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai rukun-rukun akad, dimana rukun-rukun akad tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan. Secara garis besar persyarat­an rukun akad dapat dikelompokkan menjadi empat macam: 
  1. Syarat in'iqad yaitu persyaratan yang berkenaan dengan berlangsung atau tidak berlangsungnya akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi keberadaan akad. Karena itu jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka akibatnya akad menjadi batal (gagal). Persyaratan yang termasuk kategori ini adalah persyaratan akad yang berifat umum berlaku pada setiap unsur akad (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya). Sedangkan sejumlah per­syaratan khusus berlaku pada akad-akad tertentu. Misalnya saksi dalam akad nikah dan serah terima dalam akad 'ainiyah (kebendaan) dan lain-Iain.
  2. Syarat shihah (sah) adalah syarat yang ditetapkan oleh syara' yang berkenaan dengan ada atau tidaknya akibat hukum. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akadnya menjadi rusak (fasad). Contoh persyaratan jenis ini, dalam hal jual-beli yang sangat populer dalam madhab Hanafi adalah keharusan terhindamya akad dari enam perkara yaitu jihalah (tidak transparan), ikrah, tauqit (batas waktu tertentu), dharar dan syarat fasid."
  3. Syarat nafadh adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara' berkenaan dengan belaku atau tidak berlakunya sebuah akad. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi akadnya menjadi mauquf (ditangguhkan). Syarat nafadh ada dua: Pertama, milik atau wilayah, artinya orang-orang yang me­lakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau dia mempunyai otoritas atas obyek akad. Kedua, obyek akad harus terbebas dari hak-hak pihak ketiga. 
  4. Syarat luzum yaitu persyaratan yang ditetapkan oleh syara' berkenaan dengan kepastian sebuah akad, karena akad sendiri adalah sebuah ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum dapat dipastikan berlakunya seperti masih ada unsur-unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghair luzum (tidak pasti), sebab masing-masing pihak masih mempunyai hak untuk tetap melangsungkan atau membatalkan akadnya. 

Berakhirnya Akad 
Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad  mauquf. 
  • Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-ha! yang menye­babkan timbulnya fasakhnya akad adalah sebagai berikut: 
    • Fasakh karena akadnya fasid (rusak), yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid, seperti akad pada bai' al-mu'aqqat atau bai' al-majhul. Maka akad harus difasakh oleh para pihak yang berakad atau oleh keputus­an hakim. 
    • Fasakh karena khiyar. Pihak yang mempunyai wewe­nang khiyar berhak melakukan fasakh terhadap akad jika menghendaki, kecuali dalam kasus khiyar 'aib setelah penyerahan barang.
    • Fasakh berdasarkan iqalah, yaitu terjadinya fasakh akad karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
    • Fasakh karena tidak ada realisasi. Fasakh ini hanya ter­jadi pada khiyar naqd, misalnya karena rusaknya obyek akad sebelum penyerahan. 
    • Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisasi . Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir, atau tujuan akad telah terealisasi, maka akad dengan sendirinya menjadi fasakh (ber­akhir). 
  • Berakhirnya akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Akad yang fasakh karena kematian adalah sebagai berikut: 
    • Akad dalam ijarah: Menurut Hanafiyah, kematian seseorang menyebab­kan berakhimya akad ijarah. Alasan mereka, karena ijarah merupakan akad kedua belah pihak, maka jika salah satu pihak meninggal dunia, dengan sendirinya akad akan berakhir. Namun jumhur berpendapat, bahwa kematian tidak dapat menyebabkan berakhir­nya akad.
    • Akad dalam rahn dan kafalah: Akad dalam dua transaksi ini merupakan akad yang lazim, karena itu jika pihak penggadai barang (rahin) meninggal dunia maka barang gadai harus segera dijual untuk melunasi hutang. Sedangkan dalam akad kafalah, apabila orang yang berhutang meninggal dunia tidak mengakibatkan berakhimya kafalah, tetapi jika ada hutang yang masih belum terbayar harus dilakukan perlunasan hutang atau tanggung jawabnya dilimpah­kan kepada pihak lain. 
    • Akad dalam syirkah dan wakalah Akad syirkah akan berakhir dengan kematian seseorang, jika anggotanya tidak lebih dari dua orang, namun apa­bila anggotanya lebih dari dua orang akad, maka akad syirkah akan tetap berlangsung bagi para anggota yang masih hidup. Hal ini juga berlaku bagi akad dalam wakalah. 
  • Berakhirnya akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai we­wenang tidak mengizinkannya atau meninggal dunia sebelum dia memberikan izin. 

Sumber Referensi:
  • Ibnu 'Abidin, Radd AL Mukhtar 'Ala Ad Dur Al Mukhtar, (Mesir, Al amriyah, tt)
  • Mustafa Ahmad Az Zarqa', Al Madkhal Al Fiqhi Al 'Am Al Islami Fi Tsaubihi Al Jadid (Beirut, Dar Al Fiqr, 1968)
  • Ad Dardir, Asy Syarh Al Kabir 'Ala Hasyiyyah Ad Dasuqi, (Beirut, Dar Al Fikr, tt)
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000).
  • Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986)
  • Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Teras, 2011)

Akad - Akad Dengan Prinsip Sewa Menyewa

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Sewa Menyewa yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah. ...