Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan

29 Desember 2024

Akad- Akad Dengan Prinsip Bagi Hasil

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Bagi Hasil yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah.

Qur'an Voice

No Judul File
1 Akad Mudharabah Lihat
2 Akad Musyarakah Lihat
3 Akad Mudharabah Musytarkah Lihat
4 Akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) Lihat
5 Akad Musyarakah Muntahiyah Bit Tamlik (MMBT) Lihat

Akad-Akad Dengan Prinsip Jual Beli

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Jual Beli yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah.

Qur'an Voice

No Judul File
1 Akad Bai' Lihat
2 Akad Murabahah Lihat
3 Akad Salam Lihat
4 Akad Istishna' Lihat

23 Desember 2024

Ketentuan Transaksi Berdasarkan Objek Saat Akad Dilakukan (Muayyan & Mausuf Fi Dzimmah)

Dalam sebuah akad, berdasarkan keberadaan objek atau barang pada saat akad dilaksanakan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yakni Muayyan dan Mausuf Fi Dzimmah.

Muayyan

Dalam hal ini, objek transaksi sudah ada pada saat akad dilangsungkan, objek spesifik dan tertentu, dapat dilihat dan bisa dihadirkan pada saat dilaksanakan, karena bisa saja pada saat akad dilaksanakan barang tidak berada di majelis akad. Misalnya mobil Daihatsu terios, Motor Nmax, Pulsa Telkomsel denom 100.000,- dan seterusnya. Jenis transaksi semacam ini disebut Transaksi yag objek bersifat Muayyan.

Mausuf Fi Dzimmah

Dalam hal ini, objek transaksi belum ada pada saat dilaksanakan, bersifat pesanan,  butuh pengadaan terlebih dahulu baik dengan cara dibuat atau mencari barangnya terlebih dahulu, namun barang bisa dijelaskan berdasarkan spesifikasi dan kriterianya. Barang diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati pada saat akad. Misal pesan mobil Pajero Sport, Jenis Bahan Bakar Diesel, Kapasitas mesin 2477 cc, Warna Hitam atau Pesan paket perjalan wisata dengan spesifikasi tertentu, atau memesan buah kurma dengan jenis tertentu dan seterusnya. Jenis transaksi semacam ini disebut transaksi yang objeknya bersifat Mausuf Fi Dzimmah.

Ketentuan Transaksi tehadap Objek Muayyan dan Mausuf Fi Dzimmah

Akad yang objeknya bersifat mu’ayyan (baik jual beli barang maupun sewa menyewa terhadap manfaat atau jasa) hukumnya boleh, namun terdapat ketentuan bahwa OBJEK ITU TELAH DIMILIKI oleh Penjual (Personal Property) atau Penjual mendapat izin atau kuasa (wakil) dari pemilik untuk menjualkannya (Delegated Property) sebelum dijual kepada pembeli. Misalnya Si A menjual Mobil Terios miliknya kepda Si X atau Si B atas kuasa si A menjualkan mobil Terios milik Si A kepada Si X. Hal semacam ini diperbolehkan. Kecuali jika Sang Penjual tidak memiliki Mobil tesebut atau tidak mendapatkan kuasa dari Sang Pemilik kemudia dijual kepada pihak lain maka tidak dibolehkan.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Hadits Nabi Saw:

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad).

Olehkarenanya transaksi (baik jual beli ataupun sewa), si Penjual atau Pemberi Sewa harus memiliki barang atau manfaat/jasa sebelum dia menjual kepada pembeli atau penyewa (Ready Stock). Contohnya dalam akad Bai', Murabahah, Ijarah.

Sementara untuk akad yang objeknya bersifat belum ada (Mausuf Fidz Dzimmah) boleh dilakukan meskipun si Penjual atau Pemberi sewa belum memiliki barang atau manfaat barang/jasa (ma’dum).

Dalam akad dengan prinsip jual beli, transaksi semacam ini (yang belum ada barangnya pada saat akad) disebut Akad Salam atau Istishna'. Sedangkan dalam akad Ijarah disebut sebagai Ijarah Al Mausuf Fid Dzimmah. 

  • Akad Salam adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan atas suatu barang dengan kriteria tertentu yang harganya wajib dibayar tunai pada saat akad.
  • Akad Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan suatu barang (ada proses produksi) dengan kriteria tertentu yang pembayaran harganya berdasarkan kesepakatan antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual (pembuat/shani').
  • Akad Ijarah Al Mausuf Fi Dzimmah adalah Akad Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah adalah akad sewa menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas).

Kebolehan akad salam sebagaimana telah dipraktekkan oleh para sahabat sebelum Nabi SAWhijrah ke Madinah. Beliau membolehkannya, namun dengan batasan tertentu.

Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa Nabi SAW tiba di Kota Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan,

مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

“Siapa yang melakukan transaksi salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran yang pasti, sampai batas waktu yang pasti.” (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).

Sedangkan akad Istishna diperbolehkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Saw yang pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ. قَالَ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non-arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non-arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” [Riwayat Muslim].

Beberapa ketentuan dalam akad yang objeknya Mausuf Fi Dzimmah seperti akad Salam, Istishna’ ataupun Ijarah Al Mausuf Fi Dzimmah diantaranya:

Pertama, objek barang yang dijual atau dibeli tersebut harus dapat dijelaskan sifat, karakteristik, takaran (jika barang yang ditakar), terukur spesifikasinya (ma'lum mundhabith) dan waktu penyerahannya harus jelas. Hal terebut agar menghindari terjadinya gharar (ketidak jelasan)

KeduaPembayaran dilakukan secara tunai dan lunas pada saat akad dilaksanakan yakni untuk akad Salam sedangkan untuk Akad Istishna’ dan Ijarah mausuf Fi Dzimmah dimana pembayaran boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai kesepakatan. Pendapat lain ada yang menisbatkan akad Ijarah Mausuf Fi Dzimmah kepada akad salam sehingga pembayarannya harus tunai dan lunas di awal pada saat akad.

Ketiga, pembeli harus memiliki kemampuan untuk mengadakan barang sesuai dengan waktu yang telah disepakai dengan pembeli/pemesan.

Sehingga dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan beberapa implikasi dan Pelajaran yang dapat diambil diantaranya:

Jika Anda bertindak sebagai Penjual Perhatikan Hal Berikut!!

A. Jika Anda Memiliki Barang

  1. Jika Anda hendak menjual suatu barang atau manfaat/jasa yang telah anda memiliki dan dapat dihadirkan saat akad (muayyan) maka tidak ada batasan apapun selain anda telah memiki barang tersebut, yang menjadi tolak ukur adalah keridhaan para pihak.

B. Jika Anda Tidak Memiliki Barang

  1. Jika anda tidak memiliki barang atau manfaat/jasa yang akan dijual, namun anda memiliki potensi untuk menjualkan barang orang lain. Misalnya anda bermaksud untuk menjadi reseller dari pihak Pemasok (supplier) baik di online (marketplace) atau di manapun tanpa perlu melakukan stocking (menyediakan barang), namun hanya memasarkan barang saja yang dimiliki oleh Pemasok (Supplier), maka syaratnya adalah anda harus mendapatkan izin atau kuasa (tawkil/Wakalah) untuk menjualkan barang tersebut. Tidak boleh secara langsung anda memasarkan seakan-akan memiliki barang tersebut dan tidak pula mendapatkan izin untuk memasarkannya. Jika anda lakukan maka termasuk ke dalam larangan hadits menjual barang yang belum dimiliki. Namun jika anda mendapatkan izin untuk memasarkan dan menjualkan barang tersebut dari Pemasok (Supplier) maka transaksi semacam ini tidak terkena larangan hadits nabi Saw tersebut karena posisi anda adalah sebagai pihak penerima kuasa untuk menjualkan barang (Wakil) sedangkan Pemilik barang adalah Pihak Pemberi Kuasa (Muwakkil). Dalam akad Wakalah status Penerima Kuasa adalah sama seperti Pihak Pemberi Kuasa.
  2. Jika Anda tidak memiliki barang, dan tidak pula mendapatkan izin untuk memasarkan dari pemasok (Supplier), namun anda bermaksud untuk memasarkan dan menjual barang tersebut berupa gambar dan spesifikasinya saja dan nantinya jika ada pembeli yang memesan (Pre Order), anda akan memesan kepada Pemasok (supplier) yang ada di pasaran maka ketika itu dilakukan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan: (a) Anda wajib menyampaikan kepada Calon Pembeli/Pemesan bahwa Anda tidak/belum memiliki barang yang pasarkan (not ready stock) sehingga anda perlu memesan terlebih dahulu kepada Pemasok (supplier) dan statusnya adalah Purchase Order (PO). Jangan bertindak seakan-akan anda telah memiliki barang tersebut karena jika dilakukan akan termasuk ke dalam larangan menjual barang yang belum dimiliki. (b) menjelaskan spesifikasi barang dengan detail baik sifat dan karakteristiknya secara jelas termasuk waktu penyerahan barang yang disepakati, agar mengindari terjadinya sengketa. (d) Jika akadnya Salam maka Pembayaran Wajib Tunai dan Lunas di awal, tidak boleh dicicil atau secara bertahap. Sedangkan jika Akadnya adalah Istishna' atau IMFZ pembayaran sesuai kesepakatan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Allahu a’lam.

09 Desember 2024

Mengenal Akad Muhaya’ah Dalam Kepemilikan Harta Bersama

 

Beberapa waktu lalu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa terbaru yang menjadi dasar dan kepastian hukum syariah bagi transaksi atas harta yang dimiliki secara bersama yakni Fatwa DSN-MUI No. 159/DSN-MUI/VII/2024 tentang Jual Beli Al-Mal Al-Musytarak dan Al-Mal Al-Musya.

Ada sebuah akad yang mungkin tidak begitu familiar di telinga kita dan praktik ini pun memang jarang digunakan di tengah-tengah Masyarakat, yaitu Akad Muhaya’ah.

Dalam fatwa 159 tersebut memang tidak menjelaskan secara detail terkait pengertian akad Muhaya’ah namun hanya menyebutkan terkait penggunaan manfaat dari al-Mal al-Musytarak dalam Syirkah-Milk dengan mekanisme Akad muhaya’ah.

Apa sih Akad Muhaya’ah?

Akad Muhaya’ah adalah akad yang dilakukan oleh para mitra (syarik) dalam kepemilikan harta bersama (Syirkah Al Milk) tentang kesepakatan cara dan periode pemanfaatan harta bersama. Melalui akad ini, para mitra dapat mengatur pemanfaatan harta dengan prinsip keadilan dan maslahat bersama.

Misalnya Si A dan si B memiliki mobil yang berasal dari hadiah yang diberikan oleh orang tuanya sehingga terjadi Syirkah Al Milk (kepemilikan secara bersama). Mereka bersepakat bahwa pemakaian dilakukan secara bergantian dengan periode 3 hari yang telah ditentukan. Si A dapat menggunakan mobil pada hari Senin sampai Rabu, sementra Si B dapat mengunakan pada hari Kamis sampai Sabtu. Hari minggu mobil tidak digunakan (untuk perawatan).

Kesepakatan bersama terkait pengaturan waktu (periode) pemanfaatan harta yang dimiliki secara bersama inilah yang disebut Akad Muhaya’ah.

Meskipun akad ini asing di telinga kita, namun sejatinya akad ini pernah dilakukan oleh Sahabat ‘Utsman Bin Affan r.a tatkala beliau membeli sumur Roumah yang dimiliki oleh seorang Yahudi. Peristiwa itu terjadi setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu Kota Madinah mengalami krisis air bersih dan satu-satunya sumur yang tersisa ialah milik seorang Yahudi. Untuk memenuhi kebutuhan air maka kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus mengantri membeli air bersih dengan harga yang mahal dari seorang yahudi tersebut.  Mendengar kabar dari sahabatnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,

مَنْ يَشْتَرِي رَوْمَةَ فَيَجْعَلُهَا لِلْمُسْلِمِيْنَ, يَضْرِبُ بِدَلْوِهِ فِى دِلَائِهِمْ, وَ لَهُ بِهَا مَشْرَبٌ فِى الْجَنَّةِ

“Siapa yang mau membeli sumur Raumah, lalu menjadikannya untuk umat Islam, dia mengambil (air) dengan embernya bersama ember-ember mereka dan maka baginya adalah tempat minum di surga?'

Kemudian Sahabat ‘Utsman r.a. mendatangi Yahudi untuk menawar dalam rangka membelinya, tetapi dia enggan menjual semuanya, maka 'Utsman r.a. membeli setengah sumur Rumah dengan harga 12.000 dirham, lalu menjadikannya untuk digunakan oleh umat Islam.

Sahabat Utsman r.a. berkata kepada Yahudi, “Jika anda mau, anda memberi saya untuk dua masa (hari) sebagai bagian saya; dan jika anda mau, I hari untuk saya, dan I hari untuk anda”. Yahudi tersebut menjawab, “Saya setuju, untuk anda I hari, dan untuk saya I hari”.

Saat datang giliran hari Sahaat ‘Utsman, ‘Utsman berpesan agar umat Islam mengambil air bersih yang cukup untuk digunakan selama 2 hari. Sehingga pada hari dimana menjadi milik Yahudi, Umat Muslim tidak perlu mengantri untuk membeli.

Ketika Yahudi menghadapi kenyataan itu (air sumurnya tidak lagi laku dijual), Yahudi pun berkata kepada Sahabat ‘Utsman, “Anda telah merusak (bisnis) sumur saya, maka belilah setengahnya lagi!” Kemudian 'Utsman r.a. membelinya dengan harga 8.000 dirham.

Sebelum sumur Roumah sepenuhnya menjadi milik ‘Utsman karena pembelian, maka sumur Raumah adalah mal al-musya’ (harta yang tidak jelas batas-batas kepemilikannya secara fisik) dan dimiliki secara bersama-sama antara Sahabat ‘Utsman dan Yahudi (disebut milk al-musya‘); namun sumur tersebut menjadi mal al-Mufraz (harta yang dimiliki satu pihak) pada saat sumur tersebut sepenuhnya menjadi milik ‘Utsman Ibn ‘Affan.

Demikian, sekilas tentang akad Muhaya’ah, nantikan materi selanjutnya.

Semoga bermanfaat

Tabik,

Zuel Fahmi Musa

22 November 2024

Ketika Bank Syariah Menjadi "Investor" Pada SRIA

Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Pedoman dan meluncurkan Produk bernama Shariah Restricted Investment Account (SRIA). Sebuah inovasi produk baru, yang memberikan angin segar bagi semua pihak yang mendambakan produk investasi sesuai dengan karakteristik investasi syariah yang menggunakan konsep Profit and Loss Sharing.

Konsep investasi SRIA ini, sebenarnya memiliki kesamaan dengan konsep yang telah kami lakukan di P2P Financing Syariah. Salah satu perbedaannya adalah adanya pembatasan khusus yang ditentukan oleh Nasabah Investor terhadap projek, waktu atau tempat investasi yang akan disalurkan yg disebut Muqayyadah (restricted).

Perbedaan lainnya adalah jika di P2P Syariah, Penyelenggara hanya bertindak sebagai pihak yang mempertemukan (arranger/wakil) antara Pemilik dana (investor) dengan Penerima Dana. Namun pada SRIA, Bank Syariah tidak bertindak sebagai arranger/wakil tetapi bisa bertindak sebagai Pengelola (Mudharib) dan juga diperkenankan menyertakan dana (sebagai Sahib Al Maal) dalam investasi dengan memiliki porsi pada aset SRIA.

Ketika Bank memiliki 2 peran yaitu sebagai Mudharib dan juga sebagai Investor (Musytarik), maka jika terjadi kerugian sejatinya Bank memiliki 2 risiko yang harus ditanggungnya yakni risiko Imateril (tenaga, waktu dan fikiran untuk pengelolaan) dalam kapasitasnya sebagai Mudharib, dan Risiko Materil (modal) sesuai dengan porsi yang dimiliki dalam kapasitasnya sebagai investor. 

Olehkarena bank menanggung 2 risiko dalam 2 peran yang dijalankan, maka pada saat distribusi imbal hasil investasi pun harus dilakukan sesuai dengan risiko yg ditanggung. Sebelum berbagi hasil dengan Nasbaah Investor, Bank memisahkan imbal hasil yang menjadi haknya sebagai Musytarik terlebih dahulu sesuai dengan porsi modal, baru kemudian sisanya Bank berbagi hasil dalam kaitannya Bank sebagai Mudharib dan Nasabah Investor sebagai Shahib Al Maal sesuai dengan nisbah yg disepakati.

Dengan adanya pemisahan terlebih dahulu, Bank tentu mendapatkan keuntungan yang lebih besar sesuai dengan risiko yang wajib ditanggungnya. Hal tersebut selaras dengan kaidah fiqh bahwa Keuntungan berbanding lurus dengan risiko yang ditanggunh;
الغنم بالغرم أو الخراج بالضمان

Mekanisme distribusi imbal hasil ini telah dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah yaitu bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (Mudharib) menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi seperti pada SRIA ini.  

Namun Fatwa Nomor 50 tentang Mudharabah Musytarakah dan mekanisme distribusi imbal hasil ketika Bank selain bertindak sebagai Mudharib juga bertindak sebagai Investor ini, belum disertakan dalam Pedoman SRIA yang telah dikeluarkan oleh OJK.

Semoga ini dapat menjadi masukan dan bermanfaat bagi semua. 

#ZuelFahmi
#MudahrabahMuqayyadah
#SRIA
#SahriaRestrictedInvestmentAccount
#BankSyariah
#FintekSyariah

01 November 2024

Khiyar Dalam Transaksi

Pengertian Khiyar 

Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh dua pihak yang berakad ('aqidain) untuk memilih antara meneruskan akad, atau membatalkannya dalam kyiyar syarat dan khiyar 'aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah benda dalam khiyar ta'yin. Sebagian khiyar adakalanya bersumber dari kesepa­katan seperti khiyar syarat dan khiyar ta'yin dan sebagiannya lagi bersumber dari ketetapan syara' seperti khiyar 'aib. 

Menurut Wahbah Az-Zuhaili ada tujuh belas macam khiyar, namun di dalam kitabnya dia hanya menyebutkan enam macam khiyar yang populer, sebagaimana yang akan diterang­kan berikut ini: 




Khiyar Majlis

Khiyar majlis adalah setiap 'aqidain mempunyai hak untuk memilih antara meneruskan akad atau mengurung­ kannya sepanjang keduanya belum berpisah. Artinya suatu akad belum bersifat lazim (pasti) sebelum berakhirnya majlis akad yang ditandai dengan berpisahnya 'aqdain atau dengan timbulnya pilihan lain. Namun khiyar majlis ini tidak berlaku pada setiap akad, melainkan hanya berlaku pada akad al­ mu'awadhah al-maliyah, seperti akad jual beli dan ijarah. Khiyar majlis dipegang teguh oleh fuqaha Syafi'iyah dan Hanabilah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim, sebagaimana sabda Rasulallah Saw:

"Dua pihak yang melakukan jual beli, memiliki hak khiyar (memilih) selama keduanya belum berpisah".

Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada khiyar majlis dalam jual beli, menurut mereka, akad telah dianggap sempuma dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan kabul. Karena itu khiyar majlis setelah terjadinya ijab dan kabul dianggap sebagai pelanggaran terhadap akad. Menurut mereka makna al-bai'ani diartikan (secara ta'wil) dengan proses tawar­ menawar sebelum ada keputusan akad, teks hadits maalam yatafarraqa dita'wilkan dengan "terputus lisan" tidak dengan pengertian "terputus secara badani". Artinya apabila ijab dan kabul telah terputus dengan perkataan lain, maka masing­ masing pihak dapat membatalkannya. Khiyar yang demikian.; ini menurut madhhab Hanafi disebut sebagai khiyar qabul atau khiyar ruju'.  

Khiyar Ta'yin

Khiyar ta'yin adalah hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara sifat atau harganya. Khiyar ini hanya berlaku pada akad mu'awadhah al-maliyah yang mengakibatkan perpindahan hak milik, seperti jual-beli. Keabsahan khiyar ta'yin menurut madhhab Hanafi hams memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

  1. Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad.
  2. Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan hams setara dan harganya hams jelas. Jika nilai dan sifat masing-masing benda berbeda jauh, maka khiyar ta'yin ini menjadi tidak berarti.
  3. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.

Adapun imam Syafi'i dan Ahmad lbn Hanbal menyang­kal keabsyahan khiyar ta'yin ini, dengan alasan bahwa salah satu syarat obyek akad adalah harus jelas.  

Khiyar Syarat

Khiyar syarat adalah hak 'aqidain untuk melangsungkan atau membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan ketika akad berlangsung. Seperti ucapan seorang pembeli "saya beli barang ini dengan hak khiyar untuk diriku dalam sehari atau tiga hari". Khiyar syarat ini hanya ber­laku pada jenis akad lazim yang dapat menerima upaya fasakh (pembatalan) seperti pada akad jual-beli, mudharabah, muzara'ah, ijarah, kafalah, musaqah, hiwalah dan lain-lain. Sedangkan khiyar ini tidak berlaku pada akad ghair lazim: seperti pada akad wakalah, 'ariyah, wadi'ah, hibah dan wasiah. Khiyar syarat ini juga tidak berlaku pada akad lazim yang tidak menerima upaya fasakh, seperti akad nikah, thalak dan khulu'. Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut ini: 

  1. Terjadi penegasan pembatalan atau penetapan akad.
  2. Batas waktu khiyar telah berakhir
  3. Terjadi kerusakan pada obyek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan berakhirlah khiyar. Namun jika kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan pembeli maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad.
  4. Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak, bertelur atau mengembang.
  5. Wafatnya sahib al-khiyar. Pendapat tersebut menurut pandangan Madhhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan menurut madhhab Syafi'i dan Maliki bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris menggantikan shahib al-khiyar yang wafat. 

Khiyar 'Aib

Khiyar 'Aib adalah hal yang dimiliki oleh salah seorang dari 'aqidain untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak memberitahukannya pada saat akad . Khiyar 'aib ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah Saw: 


"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang muslim menjual (barang) yang mengandung cacat ('aib) kepada saudaranya kecuali jika dia menjelaskan (adanya cacat) kepadanya"

Khiyar 'aib harus memenuhi persyaratan sebagai ber­ ikut:
  • Aib (cacat) tetjadi sebelum akad, atau setelah cacat namun belum terjadi penyerahan. Jika cacat tersebut tetjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam peng­uasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar.
  • Pihak pembeli tidak mengetahui cacat tersebut ketika berlangsung akad a tau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya setelah mengetahui­nya, maka tidak ada hak khiyar baginya.
  • Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jaw ab terhadap segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti ini, maka hak khiyar pembeli menjadi gugur.
Hak khiyar 'aib ini berlaku semenjak pihak pembeli me­ngetahui adanya cacat setelah berlangsung akad. Adapun mengenai batas waktu untuk menuntut pembatalan akad ter­dapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktu berlakunya, ber­laku secara tarakhi. Artinya pihak yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika dia mengetahui cacat ter­sebut. Namun menurut fuqaha Malikiyah dan Syafi'iyah batas waktunya berlaku secara faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus segera menggunakan hak khiyar secepat mungkin, jika dia mengulur-ulur waktu tanpa memberikan alasan, maka hak khiyar menjadi gugur dan akad dianggap
telah lazim (sempurna). Hak khiyar 'aib gugur apabila berada dalam kondisi berikut ini: 
  • Pihak yang dirugikan merelakan setelah dia menge­ tahui cacat tersebut
  • Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pem­batalan akad
  • Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam peng­uasaan pihak pembeli
  • Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli, baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun segi ukuran seperti mengembang. 
Khiyar Ru'yah

Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasnya. 

Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Namun menurut Imam Syafi'i khiyar ru'yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada di tempat) sejak se­mula dianggap tidak sah. Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru'yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits: 

"Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya."

Khiyar Naqd

Khiyar Naqd tersebut terjadi apabila dua pihak melaku­kan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, a tau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugi­kan mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melang­sungkan akad.



28 Oktober 2024

Mu'amalah Dan Fiqh Mu'amalah

 Pengertian Mu'amalah 

Mu'amalah adalah salah satu aspek dalam hukum Islam dengan cakupan yang luas. Secara umum, aspek hukum Islam yang tidak termasuk kategori ibadah (seperti shalat, puasa, dan haji) dapat disebut mu'amalah. Oleh karena itu, isu-isu terkait hukum perdata dan pidana biasanya termasuk dalam bidang mu'amalah. Seiring perkembangannya, hukum Islam dalam bidang mu'amalah terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu munakahat (hukum perkawinan), jinayat (hukum pidana), dan mu'amalah dalam arti khusus yang berfokus pada ekonomi dan bisnis dalam Islam.

Pengertian Fiqh Mu'amalah tersusun dari dua kata, yaitu kata fiqh dan mu'amalah. Arti kata Fiqh secara etimologi (bahasa) adalah al-fahmu (paham), sebagaimana arti yang dipahami dari hadits:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

"Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi­ Nya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama".

Menurut termologi, pada awalnya pengertian Fiqh men­cakup seluruh ajaran agama, baik dalam bidang akidah, akhlak ataupun ibadah sehingga identik dengan arti Syari'ah Islamiy­yah. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian Fiqh mengalami spesifikasi dan menjadi bagian dari Syari'ah Islamiyyah.  Secara umum para fuqaha mendefinisi­kan fiqh sebagai berikut: 

الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنَ الْأَدِلَّتِهَاَ التَّفْصِيلِيَّةِ

"Ilmu tentang hukum-hukum syari'ah amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci"

Sedangkan pengertian mu'amalah secara etimologi berasal dari bentuk masdar kata عاَمَلَ - يُعَامِلُ - مُعَامَلَةً sama dengan wazan فَاعَلَ - يُفَاعِلُ - مُفَاعَلَةً yang artinya saling bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan.

Adapun pengertian Fiqh Mu'amalah secara terminoogi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengertian Fiqh Mu'amalah dalam pengerti­an luas dan Fiqh Mu'amalah dalam pengertian sempit. Definisi Fiqh Mu'amalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut: 

  • Menurut Ad-Dimyati berpendapat bahwa Mu'amalah adalah: 

التَّحْصِيْلُ الدُّنْيَوِي لِيَكُوْنَ سَبَبًا لِلْأَخِرِ
        "(Kegiatan) untuk menghasilkan duniawi, supaya menjadi sukses dalam masalah ukhrawi"
  • Menurut Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa Mu'amalah ada­lah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
  • Mu'amalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Sedangkan pengertian Mu'amalah dalam pengertian sempit (spesifik) telah didefinisikan oleh para ulama, sebagai berikut: 

  • Menurut Hudhari Bek adalah: 

        الْمُعَامَلَاتُ جَمِيْعُ الْعُقُوْدِ الَّتِى بِهَا يَتَبَدَلُ مَنَافِعُهُمْ

          "Mu'amalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya" 

  • Menurut Idris Ahmad bahwa Mu'amalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan tentang manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperlan jasmaninya dengan cara yang paling baik." 
  • Menurut Rasyid Ridha bahwa mu'amalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqh mu'amalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.

Perbedaan pengertian mu'amalah dalam arti sempit dengan pengertiannya dalam arti luas adalah mengenai perbedaan dalam cakupannya. Pengertian mu'amalah dalam arti luas masih mencakup beberapa masalah misalnya dalam persoalan warits, padahal masalah warits dalam perkembangan selanjut­nya telah menjadi disiplin ilmu tersendiri yaitu masuk dalam pembahasan fiqh mawarits, karena itu fiqh mawarits ini tidak tercakup dalam arti sempit. Adapun letak per­samaan antara mu'amalah dalam arti luas dengan mu'amalah dalam mu'amalah dalam arti sempit adalah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manuisa dalam kaitannya dengan pengelolaan harta benda. 

Pembagian Fiqh Mu'amalah

Pembagian Fiqh Mu'amalah ini sangat berkaitan dengan pandangan fuqaha dalam memahami pengertian fiqh mu'ama­lah dalam arti luas atau arti sempit. Menurut Ibn 'Abidin, Fiqh Mu'amalah dibagi menjadi lima bagian:

  1. Mu'amalah Maliyah (Hukum Kebendaan)
  2. Munakahat (Hukum Perkawinan)
  3. Muhasanat (Hukum Acara)
  4. Amanat dan 'Ariyah (Pinjaman)
  5. Tirkah (Harta Peninggalan)

Sedangkan al-Fikri, dalam kitabnya Al Mu'amalah Al­ Madiyah Wa Al Adabiyah menyatakan bahwa Mu'amalah dibagi menjadi dua bagian: 

  • Al Mu'amalah Al Madiyah adalah Mu'amalah yang mengkaji objeknya, karena itu sebagian ulama ada yang berpen­dapat bahwa mu'amalah al madiyah adalah mu'amalah yang bersifat kebendaan, karena objek fiqh mu'amalah ada­lah benda yang halal, haram dan subhat untuk diperjual­-belikan, benda-benda yang memudharatkan dan benda-benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi lainnya. Dengan kata lain, al-mu'amalah al-madiyah adalah berupa aturan-aturan yang telah diterapkan oleh syara' dari segi objek benda. Karena itu aktifitas bisnis seorang muslim tidak hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan semata (keuntungan materil), tetapi praktek bisnis tersebut harus dilandasi oleh nilai-nilai sakral agama, dalam rangka untuk mendapatkan ridha Allah Swt. dengan cara dia harus senan­tiasa merujuk kepada peraturan-peraturan syara' dalam setiap melaksanakan aktifitas bisnisnya. 
  • Al-Mu'amalah al-Adabiyah adalah mu'amalah yang di­tinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban misalnya jujur, hasud, dengki dan dendam. Al Mu'amalah Al Adabiyah yang dimaksud adalah aturan­ aturan Allah yang wajib diikuti berkaitan dengan aktifitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Adabiyah ini berkisar dalam keridhaan antara kedua belah pihak saat melangsungkan akad, sehingga tidak boleh terjadi unsur dusta, menipu (manipulasi) di dalarnnya. 

Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah 
Sesuai dengan pembagian mu'amalah, maka ruang ling­kup fiqh mu'amalah juga dibagi menjadi dua:
  • Ruang Lingkup Mu'amalah Adabiyah
Ruang lingkup mu'amalah yan bersifat adabiyah adalah ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang terdapat kaitannya dengan pendistribusian harta dalam hidup bermasyarakat. 

  • Ruang Lingkup Mu'amalah Madiyah 
Adapun yang termasuk ruang lingkup pembahasan madiyah adalah masalah jual beli (al-bai' wa al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), perseroan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-a'riyah), barang titipan (al­ wadi'ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzara'ah), sewa menyewa tanah (al-mukhabarah), upah  (ujrah al-'amal), gugatan (syuf'ah), sayembara (al-ju'alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al­-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (as-sulhu) dan di­tambah dengan permasalahan kontemporer (al-mu'ashirah) seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan lain­-lain. 

Namun ada juga yang membagi ruang lingkup mu'amalah ke dalam tiga bagian yang meliputi pembahasan tentang al- mal (harta), al-huquq (hak-hak kebendaan) dan al-' aqad (hukum perikatan).


Fiqh Mu'amalah dan Sistem Ekonomi Islam 

Ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai penge­ tahuan tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang atau jasa serta mendistribusi­kannya untuk keperluan konsumsi. Dengan demikian objekkajian ekonomi adalah perilaku atau perbuatan manusia yang berkaitan dengan fungsi produksi, distribusi dan konsumsi.

Sedangkan pengertian fiqh mu'amalah secara umum juga tidak jauh beda dengan pengertian ekonomi. Karena tema bahas­an dalam fiqh mu'amalah juga menyangkut dalam masalah harta, perikatan dan teknis operasionalnya.

Agama, baik Islam maupun non-Islam, pada esensinya merupakan panduan (bimbingan moral) bagi perilaku manu­sia. Panduan moral tersebut secara garis besar bertumpu kepada ajaran akidah, syari'ah (aturan hukum) dan moral yang luhur (akhlaq al-karimah). Antara agama (Islam) dengan ekonomi terdapat ketersinggungan objek. Dalam hal ini Islam berperan sebagai panduan moral terhadap fungsi produksi, distribusi dan konsumsi. Bahkan fungsi kontrol ini tidak hanya terbatas dalam wilayah ekonomi saja, tetapi ia mencakup keseluruhan aspek dalam kehidupan.

Oleh sebab itu suatu perilaku ekonomi yang Islami secara normatif dapat dipahami sebagai sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan tuntunan ajaran Islam. Konstruks (ran­cang-bangun) ekonomi Islam adalah sebuah tatanan ekonomi yang dibangun di atas ajaran tauhid dan prinsip-prinsip moral Islam seperti keadilan, dibatasi oleh syari'at misalnya halal dan haram dan fiqh (hukum Islam yang bersifat furu'iyyah. Jadi, fiqh mu'amalah yang ruang lingkupnya meliputi hukum benda (al-mal wa al-milkiyah) dan hukum perikatan (al­ 'aqd) dalam konstruksi sistem ekonomi Islam hanya berperan sebagai instrumen teknis. Artinya ekonomi Islam pada satu sisi dibatasi oleh aturan-aturan teknis yang terdapat dalam fiqh mu'amalah. Namun ini bukan satu-satunya batasan, prinsip moral (nilai-nilai ideal) dan syari'at Islam lebih banyak berpeng­aruh terhadap sistem ekonomi Islam dibandingkan fiqh mu'amalah.

Pada sisi lain, perkembangan sistem ekonomi Islam yang dihasilkan dari kajian perilaku ekonomi masyarakat Muslim telah mendikte instrumen hukum teknis (fiqh mu'amalah). Se­kalipun antara keduanya (antara fiqh mu'amalah dan ekonomi Islam) saling terkait, namun sesungguhnya keduanya adalah dua hal yang berbeda.


Sumber Referensi:

  • Abdullah As Sattar Fatullah Sa'id, Al Muamalat Fi Al Islam, (Mekah, Rabithah Al Alam Al Islami, Idarah Al Kita Al Islami, tt)
  • A. W. Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1068.
  • Abdul Majid, Pokok-pokok Fiah Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986), 
  • Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiah (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.,).
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000).
  • Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986)
  • Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Teras, 2011)
  • Hariman Surya Siregar, Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2019)


Akad - Akad Dengan Prinsip Sewa Menyewa

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Sewa Menyewa yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah. ...