Ada sebuah anggapan bahwa meminjam suatu barang untuk digunakan yang disertai adanya syarat pengembalian dengan adanya manfaat adalah riba misalnya seseorang meminjam motor dalam kondisi bensin tinggal sedikit (tidak penuh), kemudian pemilik motor mensyaratkan agar saat dikembalikan, bahan bakar (bensin) motornya harus dalam keadaan terisi penuh. Apakah bensin itu termasuk riba karena ada tambahan manfaat yang diterima oleh pemilik motor atas pinjaman?
Di samping itu, kita juga sering
meminjam sebuah barang, misalnya Pulpen kepada teman. Pulpen yang kita pinjam
tentu yang digunakan adalah isinya (tinta). Sehingga tinta itu berkurang atau
bahkan bisa habis pakai. Benarkah penggunaan ungkapan kata “meminjam” atau
seharusnya “meminta” dan bagaimana hukumnya secara syariah?
____________
Begini kawan!!
Dalam praktik sehari-hari, Penggunaan istilah kata “Pinjam”, biasa digunakan untuk kegiatan “hutang-piutang” dan menggunakan “manfaat suatu barang”. Satu kata yang sama namun dalam perspektif syariat Islam, keduanya memiliki akad, makna dan konsekuensi hukum yang berbeda. Perbedaan ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengambil sebuah konklusi atau keputusan hukum.
Hutang-piutang dalam istilah syariat
disebut Qardh yakni akad hutang piutang antara Muqridh (Pihak Pemberi
Hutang) dengan Muqtaridh (Pihak Yang Berhutang) dimana Muqtaridh wajib
mengembalikan sejumlah (sama) dengan yang dipinjamnya sesuai dengan waktu yang
disepakati. Misalnya Si A meminjam uang sebesar Rp. 100 ribu kepada Si B, Maka
Si A wajib mengembalikan sejumlah Rp. 100 ribu sesuai waktu yang ditentukan
tanpa adanya tambahan/manfaat yang dipersyarakan/diperjanjikan. Jika ada
tambahan yang dijanjikan maka termasuk riba. Ini kaitanya dengan hutang piutang.
Dan dalam hal ini, terjadi perpindahan kepemilikan, maka si A boleh
mentashorrufkan uang 100 ribu hasil pinjamannya untuk apa pun, baik
dibelanjakan, diinvestasikan, bahkan dipinjamkan Kembali kepada pihak lain.
Sementara, peminjaman barang dengan izin kebolehan untuk menggunakan (manfaat)nya dalam syariah disebut I’arah atau Ariyyah. Misalnya, jika seseorang meminjamkan sepeda motor kepada temannya, itu berarti temannya diizinkan untuk menggunakan sepeda motor tersebut. Namun, sepeda motor itu tetap milik si pemilik, jadi tidak boleh ditashorrfukan (djual, disewakan, digadaikan atau dipinjamkan) oleh orang yang meminjam tanpa izin si pemilik barang.
Lantas bagaimana jika dalam akad I’arah,
pihak pemilik barang mensyaratkan adanya manfaat seperti mensyaratkan si
peminjam motor untuk mengisi bensin full ketika mengembalikan barang padahal
pada saat dipinjam bensinnya tinggal sedikit?
Adanya manfaat sebagai kompensasi (iwadh)
dalam akad i’arah adalah diperkenankan, misalnya seperti mengisi bensin secara
penuh (full) ketika mengembalikan, maka sejatinya akad yang dilangsungkan adalah
Ijarah (Sewa Menyewa) dengan “ujrah” yang diberikan berupa bensin. Bukan lagi I’arah,
karena prinsip I’arah itu penggunaan secara Cuma-Cuma:
الْعَارِيَةُ
هِيَى تَمْلِيْكُ الْمَناَفِعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ
“Ariyah adalah pengalihan kepemilikan manfaat tanpa pengganti (kompensasi)”.
Adapun terkait dengan penggunaan
kata pinjam dalam I’arah tidak masalah karena sudah menjadi tradisi (‘urf)
namun dapat dipahami bahwa meminjam di sini adalah penggunaan atas manfaat
barang bukan berpidahnya kepemilikan suatu barang. Karena yang dilihat dalam
suatu transaksi adalah tujuan dan maknanya, bukan dari rangkaian kalimat. Hal
ini sebagaimana kaidah Fiqh
العِبْرَةُ فِي العُقُودِ لِلمَقَاصِدِ
وَالمَعَانِي، لَا لِلْأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي
“Yang menjadi acuan dalam akad
adalah tujuan dan maknanya, bukan lafaz dan bentuk (rangkaian kata)."
Dari sini kita dapat membedakan
antara Pinjaman dengan makna utang-piutang atau Qardh (قرض),
dengan meminjam suatu barang untuk dimanfaatkan yakni ‘Iarah (إعارة) atau
Ariyatun (عارية).
Belum lama ini DSN-MUI telah
mengeluarkan 4 Fatwa terbaru salah satunya akad I’arah atau ‘Ariyyah.
Mari sama-sama kita bahas!!
Pengertian ‘Ariyyah.
Para ulama memberikan beberapa
definisi tentang I’arah atau ‘Ariyyah diantaranya:
a. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah
الْعَارِيَةُ
هِيَى تَمْلِيْكُ الْمَناَفِعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ
“Ariyah adalah pengalihan kepemilikan manfaat tanpa pengganti
(kompensasi)”. (Abu Al Husain Al Quduri Al Hanafi, Mukhtasah Al Quduri, Daar Al Qutub
Al Ilmiyyah, Cet 1, Hal 133)
الْعَارِيَةُ
هِيَى تَمْلِيْكُ الْمَناَفِعِ الْعَيْنِ بِغَيْرِ عِوَضٍ
“Ariyah adalah pengalihan kepemilikan
manfaat barang tanpa pengganti (kompensasi)”. (Al Qadhi Abdul Wahhab Al
Baghdadi, Al Maunah ‘Ala Mazhab ‘Alim Al Madinah, Al Maktabah Al Tijariyyah
Mushtafa Ahmad Al Baz, Mekkah, Jil.2, Hal 1208)
وَ هِيَى
مَصْدَرًا تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مُؤَقَّتَةٍ لاَ بِعِوَضٍ
“Ariyah –
Dalam bentuk Mashdar- adalah pengalihan kepemilikan manfaat untk sementara
tanpa pengganti (kompensasi)”. (Ibnu ‘Arafah Al Maliki, Al Mukhtashar Al Fiqhi
Mu’assasah Al Khalaf Ahmad AL Habtur, Jil.7, Hal.227)
b. Ulama
Syari’i dan Hambali
الْعَارِيَةُ
إِبَاحَةُ الْإِنْتِفَاعِ بِعَيْنٍ مِنَ الْأَعْيَانِ
“Ariyah
adalah pemberian izin pemanfaatan barang”. (Al ‘Imroni Al Syafi’i, Al Bayan Al
Madzahib Al Syafi’i, Dar Al Minhaj, Jeddah, Jil. 6, Hal. 227).
وَحَقِيْقَتُهَا
شَرْعًا إِبَاحَةُ اْلإِنْتِفَاعِ (بِمَا يَحِلُّ اْلإِنْتِفَاعُ) بِهِ مَعَ
بَقَاءِ عَيْنِهِ لِرَدِّهَا عَلَيْهِ
“Berdasarkan
terminoogi syara’, hakikat ‘Ariyah adalah pemberian izin pemanfaatan (sesuatu
yang halal untuk dimanfaatkan) dengan tidak merusak/mengubah substansinya untuk
dikembalikan kepada pemiliknya”.(Ibn Al Rif’ah, Kifayah Al Nabih Fi Syarh Al
Tanbih, Dar al Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2009, Jil. 10, Hal. 356)
c. Fatwa DSN
MUI Nomor 158 Tentang ‘Ariyah
Akad I'arah atau 'Ariyyah adalah akad pemberian izin
pemanfaatan (ibahah) atau pengalihan hak manfaat (tamlik) Mu'ar
antara Mu'ir dan Musta'ir dalam jangka waktu tertentu atau
pemanfaatan tertentu tanpa imbalan dan Mu'ar dikembalikan kepada
Mu'ir sesuai kesepakatan (Fatwa DSN-MUI Nomor 158).
Landasan akad I’arah atau ‘Ariyyah
a. Firman Allah Swt dalam surat Al
Maidah ayat 2 yang berbunyi:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوٰى وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalom (mengerjakan)
kebaiikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat doso dan
permusuhan”.
b. Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam
· Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa memudahkan kesulitan orang lain, Allah akan
mudahkan ia di hari Kiamat.” (HR. Muslim no. 2699)
· Dari Shafwan bin Umayyah:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهَ اِسْتَعَارَ مِنْهُ
اَدْرَاعًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ أَغَضْبٌ يَا مُحَمَّدٌ؟ فَقَالَ لاَ بَلْ
عَاريَةٌ مَضْمُوْنَةٌ
“Nabi pernah meminjam beberapa perisai kepada Shafwan Bin
Ummayyah, dan Shafwan berkata kepada Nabi s.o.w., 'Apakah ini sebagai harta
rampasan, wahai Muhammad?' Nabi s.a.w. menjawab, 'Bukan! Ini adalah pinjaman
yang diiamin pengembaliannya”.
· Dari Amr bin Kharijah radhiyallahu
'anhu berkata, aku mendengar Nabi ﷺ
bersabda:
سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ
أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ، وَالْمَرْأَةُ لَا
تُنْفِقُ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا
فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلاَ
الطَّعَامَ؟ قَالَ:
ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا
ثُمَّ قَالَ: العَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ،
وَالمَنِيحَةُ مَرْدُودَةٌ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ، وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ
(رواه
الترمذي)
"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap
orang yang memiliki hak, haknya. Maka, tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris.
Seorang istri tidak boleh memberikan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan
izinnya.”
Lalu seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
(termasuk) makanan?" Beliau menjawab, "(Justru) itu adalah harta
terbaik kita."
Kemudian beliau bersabda: "Barang Pinjaman (ariyyah)
harus dikembalikan. Minhah (harta yang dipinjamkan dengan mengambil
hasilnya) harus dikembalikan. Utang harus dibayar, dan penjamin bertanggung
jawab atas utang yang dijamin." (HR.
Tirmidzi).
Perbedaan ‘Iarah dan Qardh
Pertama, Dalam akad Qardh terjadi perpindahan kepemilikan atas
harta ketika dipinjam dan diserahkan. Misalnya, Si A meminjam uang (Qardh) si B
Rp. 1 juta rupiah, maka pada saat itu terjadi perpindahan kepemilikan. Si A
boleh mentashorrufkan uang tersebut, baik dibelanjakan, diinvestasikan,
dishodaqahkan, dipinjamkan kembali dan seterusnya karena uang tersebut
sejatinya telah beralih kepemilikannya kepada A.
Sementara I’arah tidak
terjadi perpindahan kepemilikan namun membolehkan untuk memanfaatkan barang
tersebut. Misalnya, Ketika Si A meminjam mobil milik Si B. Maka Si B
membolehkan Si A untuk memakai mobilnya, namun mobilnya tidak boleh dijual,
disewakan, digadaikan atau diganti dengan mobil yang lain. Karena hak dari Si A
adalah hanya memanfaatkan barang tersebut.
Kedua, akad Qardh status harta sifatnya adalah tanggungan
(utang-piutang). Pihak peminjam wajib mengembalikan sejumlah atau setara dengan
harta yang dipinjamnya. Misalnya Si A meminjam Uang kepada Si B Rp. 1 juta maka
ketika telah diserahkan Si A memiliki kewajiban mengembalikan sejumlah Rp. 1
juta kepada B sesuai dengan waktu yang disepakati bahkan jika uang itu hilang
sebelum digunakan.
Sementara dalam akad ‘Ariyah, pihak
peminjam tidak berkewajiban menanggung (mengganti) jika terjadi risiko
sepanjang dia tidak berkhianat, sebagaimana hadits Nabi Saw:
لَيسَ عَلَى الْمُسْتَعِيْرِ غَيْرِ
الْمُغِلِّ ضَمَانٌ
“Tidak ada tanggung jawab
(penggantian) atas peminjam (musta’ir) yang tidak berkhianat (lalai/taqshir).
Namun dalam Fatwa DSN Nomor 158/DSN-MUI/VII/2024
tentang Akad I’arah, bagian Ketujuh Ketentuan Ganti RuGi dinyatakan bahwa
Musta’ir (Pihak yang meminjam) wajib
melakukan ganti rugi jika Mu'ar (barang yang dipinjam) hilang dan/atau rusak,
baik karena tindakannya yang termasuk tindakan khianat (lalai,
melampaui batas, dan/atau menyalahi kesepakatan atau kebiasaan baik yang
berlaku) maupun tidak;
Dalam hal ini, jelas bahwa Fatwa
menjaga kemaslahatan para pihak, terutama hak pihak Mu’ir (Pihak yang
meminjamkan) atas barang yang dipinjamkannya agar barang yang dipinjamkan tetap
aman, terjaga, tidak rusak ataupun hilang, maka jika hilang wajib ada
penggantian sesuai harga barang pada saat rusak. Sehingga pihak Musta’ir
memiliki tanggungjawab untuk melakukan itu. Olehkarenanya Fatwa DSN-MUI juga
memberikan batasan dan ketentuan bagi pihak Musta’ir harus cakap hukum, memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan dan/atau mengambil manfaat Mu'ar menurut
ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan dan memiliki itikad baik
untuk memelihara, menjaga, serta memanfaatkan Muar sesuai dengan kesepakatan, kebiasaan baik ('urf),
dan/atau peraturanperundang-undangan;
Berikut beberapa ketentuan dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 158/DSN-MUI/VII/2024 tentang Akad I’arah:
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini yang dimaksud
dengan:
- Akad I'arah atau 'Ariyyah adalah akad pemberian izin pemanfaatan (ibahah) atau pengalihan hak manfaat (tamlik) Mu'ar antara Mu'ir dan Musta'ir dalam jangka waktu tertentu atau pemanfaatan tertentu tanpa imbalan dan Mu'ar dikembalikan kepada Mu'ir sesuai kesepakatan;
- Mu'ar adalah obyek Akad I'arah;
- Mu'ir adalah pihak yang meminjamkan Mu'ar;
- Musta'ir adalahpihak yang meminjam Mu'ar;
- Manfaat adalah kegunaan Mu'ar baik yang bersifat abstrak (manfa'ah 'aradhiyyah) maupun yang bersifat konkret (manfa'ah madiyah);
- Akad I'arah Muthlaqah adalah akad I'arah yang tidak dibatasi cara memanfaatkan Mu'ar dan tidak ditentukan waktu pengembaliannya;
- Akad I'arah Muqayyadah adalah akad I'arah yang dibatasi cara memanfaatkan Mu'ar dan/ atau waktu pengembaliannya;
- Akad Lazim adalah akad yang sah dan bersifat nafidz (efektif) yang tidak dapat diakhiri secara sepihak, tapi hanya dapat diakhiri berdasarkan kesepakatan;
- Akad Ja'iz adalah akad yang sah dan bersifat nafidz (efektif) yang dapat diakhiri secara sepihak, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lain;
- Dharar adalah tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian pihak lain.
Kedua: Ketentuan Hukum
Akad I'arah boleh dilakukan selama terpenuhi rukun dan syaratnya sebagaimana ketentuan dalam fatwa ini.
Ketiga: Ketentuan Terkait Shigat Al ‘Aqd
- Akad I'arah harus dinyatakan secara tegas dan jelas serta dimengerti oleh Mu'ir dan Musta'ir;
- Akad I'arah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan perbuatan/tindakan, serta dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Akad I 'arah yang dilakukan Mu'ir dan Musta'ir bersifat kontraktual; baik I'arah yang bersifat tamlik maupun I'arah yang bersifat ibahah.
Keempat: Ketentuan Terkait Mu’ir
- Mu'ir boleh berupa orang atau yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan;
- Mu'ir wajib cakap hukum (ahliyah) menurut syariah dan peraturan perundang-undangan;
- Mu'ir wajib memiliki kewenangan (wilayah) untuk melakukan akad I'arah baik kewenangan yang bersifat ashliyyah (termasuk dalam posisi sebagai Musta’jir dalam akad ljarah), maupun kewenangan yang bersifat niyabiyyah;
- Mu'ir wajib menyerahkan Mu'ar kepada Musta'ir pada waktu yang disepakati dan berhak menerima Mu'ar padawaktu yang disepakati;
Kelima: Ketentuan Terkait Musta’ir
- Musta'ir boleh berupa orang atau yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan;
- Musta'ir wajib cakap hukum (ahliyyah) menurut syariah dan peraturan perundang-undangan;
- Musta'ir wajib memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan/atau mengambil manfaat Mu'ar menurut ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan;
- Musta'ir wajib memiliki itikad baik untuk memelihara, menjaga, dan memanfaatkan Muar sesuai dengan kesepakatan, kebiasaan baik ('urf), dan/atau peraturanperundang-undangan;
- Musta'ir dilarang melakukan perbuatan khianat, termasuk perbuatan yang dapat mengakibatkan Mu'ar rusak dan/atau hilang;
- Musta'ir wajib mengembalikan Mu'ar kepada Mu'ir pada waktu yang disepakati dan/atau manfaat Mu'ar telah tercapai.
Keenam: Ketentuan Terkait Mu’ar
- Mu'ar harus harta yang dapat diambil manfaatnya oleh Musta'ir dan tidak habis atau musnah karena pemakaian/tetap fisiknya (baqa' al-ain);
- Manfaat Mu'ar harus manfaat mubahah (manfaat yang dibolehkan secara syariah dan perafuran perundang-undangan).
Ketujuh: Ketentuan Terkait Ganti Rugi
- Musta'ir wajib melakukan ganti rugi jika Mu'ar hilang dan/atau rusak, baik karena tindakannya yang termasuk tindakan khianat (lalai, melampaui batas, dan/atau menyalahi kesepakatan atau kebiasaan baik yang berlaku) maupun tidak;
- Besaran ganti rugi harus senilai Mu'ar pada saat hilang atau rusak;
- Mu'ir berhak menerima ganti rugi atas hilang dan/atau rusaknya Mu'ar yang terjadi karena Musta'ir lalai, melampaui batas, dan/atau menyalahi kesepakatan.
Kedelapan: Ketentuan Terkait Pengakiran Akad
- Akad I'arah dapat diakhiri oleh Mu'ir dan/atau Musta'ir kapan saja (karena Akad I'arah termasuk akad Ja'iz, bukan akad Lazim);
- Akad I'arah berakhir jika Mu'ir dan/atau Musta'ir tidak cakap hukum, diantaranya karena wafat, dungu (safah) atan gila;
- Dalam pengakhiran Akad I'arah tidak boleh ada pihak yang dirugikan;
- Dalam hal pengakhiran Akad I'arah terdapat pihak yang dirugikan (misalnya Musta'ir belum menerima manfaat dari Mu'ar sementara Musta'ir sudah mengeluarkan biaya), maka pihak yang dirugikan boleh meminta ganti rugi kepada pihak yang mengakhiri.
Kesembilan: Ketentuan Penutup
- Penyelesaian sengketa wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan:
- melalui musyawarah mufakat,
- melalui lembaga penyeles aian sengketa, antara lain melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (BASYARNAS-MUI) atau Pengadilan Agama apabila musyawarah mufakat tidak tercapai.
- Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan akan disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.
Demikian, agar tulisan yang sedikit
ini bisa lebih bermanfaat, anda dapat menyebarluaskan!!
Wallahua’lamu Bish Showab