No | Judul | File |
---|---|---|
1 | Akad Bai' | Lihat |
2 | Akad Murabahah | Lihat |
3 | Akad Salam | Lihat |
4 | Akad Istishna' | Lihat |
29 Desember 2024
Akad-Akad Dengan Prinsip Jual Beli
09 Desember 2024
Mengenal Akad Muhaya’ah Dalam Kepemilikan Harta Bersama
Beberapa waktu lalu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa terbaru yang menjadi dasar dan kepastian hukum syariah bagi transaksi atas harta yang dimiliki secara bersama yakni Fatwa DSN-MUI No. 159/DSN-MUI/VII/2024 tentang Jual Beli Al-Mal Al-Musytarak dan Al-Mal Al-Musya.
Ada sebuah akad yang mungkin tidak begitu familiar di telinga kita dan praktik ini pun memang jarang digunakan di tengah-tengah Masyarakat, yaitu Akad Muhaya’ah.
Dalam fatwa 159 tersebut memang tidak menjelaskan secara detail terkait pengertian akad Muhaya’ah namun hanya menyebutkan terkait penggunaan manfaat dari al-Mal al-Musytarak dalam Syirkah-Milk dengan mekanisme Akad muhaya’ah.
Apa sih Akad Muhaya’ah?
Akad Muhaya’ah adalah akad yang dilakukan oleh para mitra (syarik) dalam kepemilikan harta bersama (Syirkah Al Milk) tentang kesepakatan cara dan periode pemanfaatan harta bersama. Melalui akad ini, para mitra dapat mengatur pemanfaatan harta dengan prinsip keadilan dan maslahat bersama.
Misalnya Si A dan si B memiliki mobil yang berasal dari hadiah yang diberikan oleh orang tuanya sehingga terjadi Syirkah Al Milk (kepemilikan secara bersama). Mereka bersepakat bahwa pemakaian dilakukan secara bergantian dengan periode 3 hari yang telah ditentukan. Si A dapat menggunakan mobil pada hari Senin sampai Rabu, sementra Si B dapat mengunakan pada hari Kamis sampai Sabtu. Hari minggu mobil tidak digunakan (untuk perawatan).
Kesepakatan bersama terkait pengaturan waktu (periode) pemanfaatan harta yang dimiliki secara bersama inilah yang disebut Akad Muhaya’ah.
Meskipun akad ini asing di telinga kita, namun sejatinya akad ini pernah dilakukan oleh Sahabat ‘Utsman Bin Affan r.a tatkala beliau membeli sumur Roumah yang dimiliki oleh seorang Yahudi. Peristiwa itu terjadi setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu Kota Madinah mengalami krisis air bersih dan satu-satunya sumur yang tersisa ialah milik seorang Yahudi. Untuk memenuhi kebutuhan air maka kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus mengantri membeli air bersih dengan harga yang mahal dari seorang yahudi tersebut. Mendengar kabar dari sahabatnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,
مَنْ يَشْتَرِي رَوْمَةَ فَيَجْعَلُهَا لِلْمُسْلِمِيْنَ, يَضْرِبُ بِدَلْوِهِ فِى دِلَائِهِمْ, وَ لَهُ بِهَا مَشْرَبٌ فِى الْجَنَّةِ
“Siapa yang mau membeli sumur Raumah, lalu menjadikannya untuk umat Islam, dia mengambil (air) dengan embernya bersama ember-ember mereka dan maka baginya adalah tempat minum di surga?'
Kemudian Sahabat ‘Utsman r.a. mendatangi Yahudi untuk menawar dalam rangka membelinya, tetapi dia enggan menjual semuanya, maka 'Utsman r.a. membeli setengah sumur Rumah dengan harga 12.000 dirham, lalu menjadikannya untuk digunakan oleh umat Islam.
Sahabat Utsman r.a. berkata kepada Yahudi, “Jika anda mau, anda memberi saya untuk dua masa (hari) sebagai bagian saya; dan jika anda mau, I hari untuk saya, dan I hari untuk anda”. Yahudi tersebut menjawab, “Saya setuju, untuk anda I hari, dan untuk saya I hari”.
Saat datang giliran hari Sahaat ‘Utsman, ‘Utsman berpesan agar umat Islam mengambil air bersih yang cukup untuk digunakan selama 2 hari. Sehingga pada hari dimana menjadi milik Yahudi, Umat Muslim tidak perlu mengantri untuk membeli.
Ketika Yahudi menghadapi kenyataan itu (air sumurnya tidak lagi laku dijual), Yahudi pun berkata kepada Sahabat ‘Utsman, “Anda telah merusak (bisnis) sumur saya, maka belilah setengahnya lagi!” Kemudian 'Utsman r.a. membelinya dengan harga 8.000 dirham.
Sebelum sumur Roumah sepenuhnya menjadi milik ‘Utsman karena pembelian, maka sumur Raumah adalah mal al-musya’ (harta yang tidak jelas batas-batas kepemilikannya secara fisik) dan dimiliki secara bersama-sama antara Sahabat ‘Utsman dan Yahudi (disebut milk al-musya‘); namun sumur tersebut menjadi mal al-Mufraz (harta yang dimiliki satu pihak) pada saat sumur tersebut sepenuhnya menjadi milik ‘Utsman Ibn ‘Affan.
Demikian, sekilas tentang akad Muhaya’ah, nantikan materi selanjutnya.
Semoga bermanfaat
Tabik,
Zuel Fahmi Musa
07 November 2024
Akad Jual Beli (Al Bai')
Pengertian Jual Beli (Al Bai')
Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti al mubadalah (saling menukar). Adapun pengertian jual beli secara istilah, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam definisi definisi berikut ini:
Pengertian jual beli menurut Sayyiq Sabiq adalah:Pengertian jual beli menurut Taqiyuddin adalah:"Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling meridhai atau memindahkan hak milik disertai penggantinya dengan cara yang dibolehkan".
مُبَادَلَةُ مَالٍ قَابِلٍ لِلتَّصَرُّفِ بِإِيجَابٍ وَقَبُولٍ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ
"Saling menukar harta (barang) oleh dua orang untuk dikelola (ditasharafkan) dengan cara ijab dan qabul sesuai dengan syara."
Pengertian jual beli menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah:مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عِلَى وَجْهِ مَخْصُوْصٍ
"Saling tukar menukar harta dengan cara tertentu."
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami inti jual beli adalah suatu petjanjian tukar-menukar benda (barang) yang mempunyai nilai, atas dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai dengan petjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara'.
Yang dimaksud dengan ketentuan syara' adalah jual beli tersebut dilakukan sesuai dengan persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Maka jika syarat-syarat dan rukunn ya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'.
Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai yakni benda-benda yang berharga dan' dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara'.
Menurut pandangan fuqaha Malikiyah, jual beli dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Artinya sesuatu yang bukan manfaat ialah benda yang ditukarkan adalah berupa dzat (berbentuk) dan ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang mempuyai kriteri antara lain, bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan, yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisissr dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang tersebut ada di hadapan si pembeli maupun tidak dan barang tersebut telah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.
Dasar Hukum Jual Beli
Transaksi jual beli merupakan aktifitas yang dibolehkan dalam Islam, baik disebutkan dalam al-Qur'an, al-Hadits maupun ijma' ulama. Adapun dasar hukum jual-beli adalah:
- Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 275:
"...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"
- Dalam surat an-Nisa' ayat 29.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan periagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu".
- Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari hadits Rasulallah Saw. adalah sebagaimana sabdanya:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
"Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan"
Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual beli. Ijma' ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya . Sehingga dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.
Rukun Jual Beli
Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan mengenai rukun jual beli. Menurut fuqaha kalangan Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul." Sedangkan menurut jumur ulama, rukun jual beli terdiri dari akad (ijab dan qabul), 'aqid (penjual dan pembeli), ma'qud alaih (objek akad).
Akad adalah kesepakatan (ikatan) antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Akad ini dapat dikatakan sebagai inti dari proses berlangsungnya jual beli, karena tanpa adanya akad tersebut, jual beli belum dikatakan syah. Di samping itu akad ini dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan (keridhaan) antara dua belah pihak. Kerelaan memang tidak dapat dilihat, karena ia berhubungan dengan hati (batin) manusia, namun indikasi adanya kerelaan tersebut dapat dilihat dengan adanya ijab dan qabul antara dua belah pihak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَتَفَرَّقَنِ اثْنَانِ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ
"Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw. bersabda: Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah , sebelum mereka saling meridhai".
Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi dalam Rukun Jual Beli
Ulama mazhab telah berbeda pendapat dalam menentukan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam rukun jual beli, baik dalam akad, 'aqid, ataupun dalam ma'qud 'alaih. Ada pun pendapat-pendapat mereka akan diuraikan berikut ini:
Syarat-syarat Shigat (ijab dan qabul)Ijab dari segi bahasa berbarti "pewajiban atau perkenaan", sedangkan qabul berarti "penerimaan". Ijab dalam jual beli dapat dilakukan oleh pembeli atau penjual sebagaimana kabul juga dapat dilakukan oleh penjual atau pembeli. Ucapan atau tindakan yang lahir pertama kali dari salah satu yang berakad disebut ijab, kemudian ucapan atau tindakan yang lahir sesudahya disebut qabul."
Menurut ulama Hanfiyah, terlaksananya ijab kabul tidak harus diekspresikan lewat ucapan (perkataan) tertentu, sebab dalam hukum perikatan yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang dihasilkannya. Ukuran ijab dan qabul adalah kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi dan adanya tindakan, memberi tindakan memberi atau menerima atau indikasi dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan dalam memindahkan kepemilikan. Kata bi'tu (saya menjual), malaktu (saya memiliki), isytaraitu (saya beli) dan akhadtu (saya ambil) merupakan contoh lafadh akad jual beli yang jelas menunjukkan kerelaan." Adapun menurut ulama Syafi'iyah bahwajual beli tidak sah kecuali dilakukan dengan sighah yang berupa ucapan tertentu atau cara lain yang dapat menggantikan ucapan, seperti jual beli dengan tulisan, utusan orang atau dengan isyarat tunawicara yang dapat dimengerti (dipahami maksudnya).
Ijab qabul dengan tulisan (surat dianggap sah jika kedua belah pihak yang berakad berada di tempat yang saling berjauhan satu sama lain atau pihak yang berakad tidak dapat berbicara. Akan tetapi apabila penjual dan pembeli berada dalam satu majelis akad dan tidak ada halangan untuk melakukan akad dengan ucapan, maka akad tersebut tidak sah jika tidak dipenuhi dengan syarat transaksi jual beli selain dengan kata-kata.
Syarat lain untuk syahnya ijab dan qabul, menurut pendapat ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, adalah adanya kesinambungan antara keduanya dalam satu majelis akad tanpa ada pemisah yang dapat merusak akad. Sementara itu ulama Malikiyah berpendapat bahwa keterpisahan antara ijab dan qabul tidak akan merusak akad jual beli selama hal tersebut terjadi menurut kebiasaan.
Kemudian syarat lain yang harus dipenuhi dalam ijab qabul adalah adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul terhadap harga barang yang diperjualbelikan. Apabila tidak ada kesesuaian harga, berarti tidak ada kesesuaian antara ijab dengan qabul. Misalnya penjual berkata, "saya menjual baju ini dengan harga Rp 50.000,-", kemudian pembeli menjawab, "saya beli baju ini dengan harga Rp. 40.000,-. Proses ijab qabul tersebut menggambarkan jual beli yang tidak sah, karena tidak adanya kesesuaian harga yang disepakati, kecuali apabila si penjual menerima penawaran harga si pembeli dengan harga Rp. 40.000,- tersebut.
Syarat-syarat Aqid (Penjual dan Pembeli)- Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum Islam dikenal istilah baligh ( dewasa) dan berakal sehat. Berdasarkan syarat ini maka jual beli di bawah umur dan orang tidak berpikiran sehat, menurut jumhur ulama, dianggap tidak sah. Adapun menurut madzab Hanafi, baligh tidak menjadi syarat sah jual beli. Karena itu anak di bawah umur tetapi dia sudah mumayyiz (anak yang dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk) dapat melakukan akad jual bell, selama jual beli tersebut tidak memudharatkan dirinya dan mendapatkan izin atau persetujuan dari walinya.
- Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri. Karena itu apabila akad jual beli dilakukan karena terpaksa baik secara fisik atau mental, maka menurut jumhur ulama, jual beli tersebut tidak sah. Hal tersebut sesuai firman Allah:
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"...kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka" (QS. An-Nisa : 29).
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah Saw;
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
"Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan"
Adapun Abdurrahman al-Jaziri mengutip secara terperinci tentang pandangan empat madzab dalam masalah pemaksaan dalam jual beli ini.
Pertama, menurut ulama madhab Hambali menyatakan bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad tidak boleh dipaksa baik secara lahir maupun batin. Apabila keduanya hanya sepakat secara lahiriyah maka jual beli tersebut batal demi hukum. Misalnya, kedua belah pihak sepakat melakukan jual beli atas suatu barang dengan segera, karena khawatir atas orang lalim yang akan merampas barang tersebut. Sehingga seseorang menjual barangnya hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan (melindunginya) dari kejahatan orang lain. Apabila kondisi sudah kembali aman, maka penjual (sebagai pemilik barang) memperoleh kembali barangnya dari pembeli dan mengembalikan kembali harga barang (uang) kepada si pembeli. Dalam kasus semacam ini, secara lahiriyah mereka memang sepakat melakukan jual beli, tetapi secara bathiniyah sebenarnya mereka tidak ingin melakukan jual beli seperti itu. Jual beli dengan melalui proses sernacarn ini dinamakan bai'ah at-talji'ah wa al-aman (jual beli untuk melindungi dan mengamankan barang). Tetapi apabila seseorang menjual barang untuk menghindari kelaliman orang lain tanpa didasari kesepakatan dengan pembeli (jual bell ini merupakan talji'ah/perlindungan baginya), maka hukum jual beli tersebut menurut madhhab Hambali adalah sah karena prosesnya terjadi tanpa paksaan. Namun menurut madhhab ini, putusan seorang hakim kepada seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutang-hutangya tidak dinamakan jual bell paksaan, karena paksaan dalam kasus ini terjadi sebab adanya suatu hak. Contoh, seseorang yang dipaksa untuk menjual barangnya guna untuk perluasan jalan, masjid, pekuburan, nafkah istri atau orang tuanya termasuk paksaan karena suatu hak.
Kedua, menurut madzab Hanafi bahwa akad yang dipaksakan oleh seseorang kepada orang lain dianggap sah, tetapi kedua belah pihak dapat memfasakh atau membatalkannya karena terdapat cacat hukum. Menurut mereka apabila seorang hakim memaksa orang lain menjual barangnya guna melunasi hutangnya dengan perbedaan harga yang mencolok antara harga pasaran, jual beli tersebut dinyatakan fasid.
Ketiga, Ulama madhhab Maliki menyatakan bahwa jual beli tidak mempunyai kekuatan hukum apabila terdapat unsur paksaan tanpa hak. Paksaan tanpa hak menurut mereka terdapat dua macam, yaitu:
- Paksaan untuk menjual, seperti seorang lalim memaksa orang lain untuk menjual seluruh atau sebagian barangnya. Jual beli semacam ini tidak mempunyai akibat hukum, jadi penjual dapat meminta kembali barang yang dijualnya dan harus mengembalikan harga barang tersebut, selama barang tersebut tidak rusak di tangan pembeli.
- Paksaan karena suatu alasan yang akhirnya memaksa seseorang untuk menjual barangnya, seperti seseorang memaksa orang lain menyerahkan sejumlah uang yang tidak mampu dia berikan. Akhirnya dia menjual barang miliknya untuk mendapatkan uang yang dimaksud. Jual beli semacam ini tidak disepakati menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah. Jual beli yang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun sebagian kalangan madzab Maliki ada yang berpendapat bahwa jual beli tersebut tetap mempunyai kekuatan hukum, karena dengan pertimbangan masih adanya kemaslahatan bagi penjual. Jalan keluar dari paksaan dari orang lalim yang meminta uang kepada orang lain yang tidak sanggup memberikannya sehingga dia dipenjarakan, adalah menjual barang yang dimiliki guna mendapatkan uang yang diminta orang lalim itu agar dia selamat dari derita bila dia dipenjara. Seandainya jual beli tersebut tidak sah, tidak ada seorangpun akan datang untuk membeli barang itu sehingga merugikan penjual karena dia harus masuk penjara. Oleh sebab itu proses jual beli tersebut telah disepakati sebagian besar madhhab Maliki, sebagai jual beli sah dan mempunyai kekuatan hukum." Atas dasar pernyataan di atas, menurut madzab Maliki, paksaan karena suatu hak tidak menghalangi sahnya jual beli, bahkan menjadi wajib melaksanakannya. Sebagai contoh, kepala negara dapat memaksa salah seorang gubemumya untuk menjual barang-barang miliknya untuk diberikan kepada rakyatnya sebagai ganti dari apa yang telah diambil secara lalim olehnya. Menurut mereka, sama hukumnya dengan kasus di atas apabila seorang hakim memutuskan untuk menjual barang orang yang berutang guna membayar hak orang yang berpiutang .
Keempat, ulama madhhab Syafi'i berpendapat banwa jual beli yang di dalamnya terdapat unsur paksaan dianggap tidak sah. Namun menurut mereka, jenis paksaan menjual barang dapat dibagi menjadi dua:
- Paksaan tanpa suatu hak, artinya seseorang memaksa orang lain padahal dia tidak punya hak untuk memaksa.
- Paksaan karena suatu hak, seperti hakim atau pihak yang mempunyai wewenang memaksa orang lain untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya. Paksaan seperti ini tidak mencacatkan akad jual beli dan hukum akad tersebut adalah sah.
Ma'qud 'alaih (objek akad) adalah barang yang diperjualbelikan. Para ulama telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam ma'qud alaih ada empat macam. Sementara Sayyid Sabiq berpendapat bahwa syarat ma'qud 'alaih ada enam macam. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena pada dasarnya dua dari enam syarat ini telah tercakup pada empat syarat. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
- Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad berlangsung. Apabila barang tersebut tidak dapat diketahui, maka jual beli tidak sah. Untuk mengetahuinya barang yang akan dibeli perlu dilihat sekalipun ukurannya tidak diketahui, kecuali pada jual beli salam. Jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang telah ditetapkan sifat-sifatnya terlebih dahulu (namun barang belum diserahkan) dengan pembayaran kontan. Ada pun jual beli suatu barang yang tidak dapat dilihat ketika akad, boleh dilakukan dengan syarat bahwa sifat-sifat barang tersebut disebutkan (dijelaskan), sehingga pembeli merasa yakin dengan sifat-sifat barang yang dijelaskan tersebut. Namun jika barang tersebut temyata berbeda dengan sifat-sifat yang disebutkan, maka si pembeli berhak untuk melakukan khiyar yaitu hak me milih antara meneruskan akad atau membatalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"Siapa yang membeli suatu barang yang tidak dapat dilihatnya, maka dia mempunyai hak khiyar apabila melihatnya"
Penyebutan sifat yang jelas atau sifat yang diketahui menurut 'urf (adat) setempat juga berlaku terhadap barang-barang terjaga dengan baik (dalam kemasan), misalnya obat-obatan, tabung oksigen (gas), makanan atau minuman kaleng untuk dipetjualbelikan dalam keadaan tertutup kecuali akan digunakan. Karena apabila dijual dalam keadaan terbuka akan menimbulkan bahaya atau merusak kualitasnya.
- Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga. Berharga yang dimaksud dalam konteks ini adalah suci dan halal ditinjau dari aturan agama Islam dan mempunyai manfaat bagi manusia. Berkaitan dengan suci bendanya, Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنزِيرِ وَالْأَصْنَامِ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا تَقُولُ فِي شَحْمِ الْمَيْتَةِ؟ يَسْتَعْمِلُهُ النَّاسُ فِي السُّفُنِ، وَيَدْهَنُونَ فِيهِ جُلُودَهُمْ، وَيَسْتَصْبِحُونَ بِهِ؟" فَقَالَ: "لَا هُوَ حَرَامٌ
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr (minuman keras), bangkai, babi, dan berhala. Rasulullah SAW ditanya: 'Apa yang Anda katakan tentang minyak bangkai? Orang-orang menggunakannya untuk kapal, melicinkan kulit, dan sebagai penerangan?' Rasulullah SAW menjawab: 'Tidak halal, itu adalah perbuatan haram." (HR. Muslim)
Para ulama telah berbeda pendapat terhadap pengertian hadits di atas. lbn Qayyim al-Jauziyah, mengatakan bahwa perkataan haram dari Rasul Saw. mengandung dua penafsiran yaitu perbuatan tersebut haram dan jual beli tersebut haram sekalipun pembeli membelinya untuk kepentingan tertentu selain dimakan. Kalangan jumhur ulama berpendapat, barang tersebut diharamkan karena dianggap najis. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah dan Dhahiriyah, barang yang ada manfaatnya dibolehkan menurut syara'.Karena itu menurut mereka dibolehkan mempetjualbelikan kotoran najis yang benar-benar diperlukan untuk pupuk tanaman, bukan untuk dimakan atau diminum. Karena dalam riwayat lain diterangkan bahwa Ibn Umar pemah di tanya mengenai minyak yang kejatuhan tikus. Kemudian Ibn Umar mengatakan, "pakailah minyak itu untuk penerangan dan gorenglah lauk paukmu dengan minyak itu".
Adapun barang yang dijual harus ada manfaatnya, dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa boleh memperjualbelikan anjing untuk keperluan menjaga keamanan dari kejahatan dan menjaga tanaman. Sementara itu Atha' dan an-Nakha'i membolehkan menjual anjing hanya untuk kepentingan berburu saja, karena Rasulullah membolehkan memakan daging dari hasil anjing buruan saja.
- Benda yang dipetjualbelikan merupakan milik penjual. Maka jual beli barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah. Benda tersebut dianggap sebagai milik penjualnya, apabila proses transaksi jual belinya diizinkan oleh pemiliknya. Proses jual beli yang tidak mendapat izin dari pemiliknya disebut jual beli fudhuli. Misalnya, seorang suami menjual barang milik istrinya yang tanpa izin darinya. Akad dalam proses jual beli fudhuli tersebut menurut madzhab Maliki dianggap sah menurut hukum, tetapi kepastian hukumnya masih ditangguhkan sampai dibolehkan atau diizinkan oleh pemilik atau walinya. Apabila dia membolehkannya, maka jual beli tersebut sah, namun jika tidak, jual beli tersebut menjadi batal. Sehubungan dengan jual beli semcam ini terdapat sebuah hadits yang menerangkan bahwa seorang sahabat bemama Urwah al-Bariqi berkata:
"Rasul memberi saya satu dinar untuk membeli seekor kambing. Dengan uang tersebut saya mendapat dua ekor kambing. Saya jual salah satunya seharga satu dinar dan seekor lagi kuserahkan kepada Rasul beserta uang satu dinar tadi. Rasul bersabda : Allah memberkahi kamu dengan akad yang kamu lakukan"
- Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad. Artinya benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad. Karena itu, ikan di air (kolam) tidak boleh diperjualbelikan karena tidak dapat diserah terimakan dan mengandung ketidakpastian. Bentuk penyerahan benda dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pada benda yang bergerak dan benda tidak bergerak. Teknis penyerahan benda bergerak dengan beberapa macam, yaitu:
- Menyempumakan takaran atau ukurannya baik dengan takaran, timbangan dan sebagainya untuk menentukan ukuran sesuatu.
- Memindahkannya dari tempatnya jika termasuk benda yang termasuk benda yang tidak diketahui kadarnya secara terperinci kecuali oleh ahlinya, misalnya benda yang dikemas dalam botol atau kaleng.
- Kembali kepada 'urf (adat) setempat yang tidak disebutkan di atas.
- Adapun penyerahan benda yang tidak dapat bergerak cukup mengosongkannya atau menyerahkan surat atau sertifikasinya. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid sabiq.
Akad - Akad Dengan Prinsip Sewa Menyewa
Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Sewa Menyewa yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah. ...

-
KELEMBAGAAN DAN KEGIATAN USAHA BPRS BANK PEREKONOMIAN RAKYAT SYARIAH (BPRS) POJK Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Bank Perekonomian Rak...
-
Qur'an Voice No Judul File 1 Pedoman Produk Pembiay...