Tampilkan postingan dengan label Akad. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akad. Tampilkan semua postingan

29 Desember 2024

Akad- Akad Dengan Prinsip Bagi Hasil

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Bagi Hasil yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah.

Qur'an Voice

No Judul File
1 Akad Mudharabah Lihat
2 Akad Musyarakah Lihat
3 Akad Mudharabah Musytarkah Lihat
4 Akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) Lihat
5 Akad Musyarakah Muntahiyah Bit Tamlik (MMBT) Lihat

Akad-Akad Dengan Prinsip Jual Beli

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Jual Beli yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah.

Qur'an Voice

No Judul File
1 Akad Bai' Lihat
2 Akad Murabahah Lihat
3 Akad Salam Lihat
4 Akad Istishna' Lihat

23 Desember 2024

Ketentuan Transaksi Berdasarkan Objek Saat Akad Dilakukan (Muayyan & Mausuf Fi Dzimmah)

Dalam sebuah akad, berdasarkan keberadaan objek atau barang pada saat akad dilaksanakan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yakni Muayyan dan Mausuf Fi Dzimmah.

Muayyan

Dalam hal ini, objek transaksi sudah ada pada saat akad dilangsungkan, objek spesifik dan tertentu, dapat dilihat dan bisa dihadirkan pada saat dilaksanakan, karena bisa saja pada saat akad dilaksanakan barang tidak berada di majelis akad. Misalnya mobil Daihatsu terios, Motor Nmax, Pulsa Telkomsel denom 100.000,- dan seterusnya. Jenis transaksi semacam ini disebut Transaksi yag objek bersifat Muayyan.

Mausuf Fi Dzimmah

Dalam hal ini, objek transaksi belum ada pada saat dilaksanakan, bersifat pesanan,  butuh pengadaan terlebih dahulu baik dengan cara dibuat atau mencari barangnya terlebih dahulu, namun barang bisa dijelaskan berdasarkan spesifikasi dan kriterianya. Barang diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati pada saat akad. Misal pesan mobil Pajero Sport, Jenis Bahan Bakar Diesel, Kapasitas mesin 2477 cc, Warna Hitam atau Pesan paket perjalan wisata dengan spesifikasi tertentu, atau memesan buah kurma dengan jenis tertentu dan seterusnya. Jenis transaksi semacam ini disebut transaksi yang objeknya bersifat Mausuf Fi Dzimmah.

Ketentuan Transaksi tehadap Objek Muayyan dan Mausuf Fi Dzimmah

Akad yang objeknya bersifat mu’ayyan (baik jual beli barang maupun sewa menyewa terhadap manfaat atau jasa) hukumnya boleh, namun terdapat ketentuan bahwa OBJEK ITU TELAH DIMILIKI oleh Penjual (Personal Property) atau Penjual mendapat izin atau kuasa (wakil) dari pemilik untuk menjualkannya (Delegated Property) sebelum dijual kepada pembeli. Misalnya Si A menjual Mobil Terios miliknya kepda Si X atau Si B atas kuasa si A menjualkan mobil Terios milik Si A kepada Si X. Hal semacam ini diperbolehkan. Kecuali jika Sang Penjual tidak memiliki Mobil tesebut atau tidak mendapatkan kuasa dari Sang Pemilik kemudia dijual kepada pihak lain maka tidak dibolehkan.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Hadits Nabi Saw:

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad).

Olehkarenanya transaksi (baik jual beli ataupun sewa), si Penjual atau Pemberi Sewa harus memiliki barang atau manfaat/jasa sebelum dia menjual kepada pembeli atau penyewa (Ready Stock). Contohnya dalam akad Bai', Murabahah, Ijarah.

Sementara untuk akad yang objeknya bersifat belum ada (Mausuf Fidz Dzimmah) boleh dilakukan meskipun si Penjual atau Pemberi sewa belum memiliki barang atau manfaat barang/jasa (ma’dum).

Dalam akad dengan prinsip jual beli, transaksi semacam ini (yang belum ada barangnya pada saat akad) disebut Akad Salam atau Istishna'. Sedangkan dalam akad Ijarah disebut sebagai Ijarah Al Mausuf Fid Dzimmah. 

  • Akad Salam adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan atas suatu barang dengan kriteria tertentu yang harganya wajib dibayar tunai pada saat akad.
  • Akad Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan suatu barang (ada proses produksi) dengan kriteria tertentu yang pembayaran harganya berdasarkan kesepakatan antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual (pembuat/shani').
  • Akad Ijarah Al Mausuf Fi Dzimmah adalah Akad Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah adalah akad sewa menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas).

Kebolehan akad salam sebagaimana telah dipraktekkan oleh para sahabat sebelum Nabi SAWhijrah ke Madinah. Beliau membolehkannya, namun dengan batasan tertentu.

Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa Nabi SAW tiba di Kota Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan,

مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

“Siapa yang melakukan transaksi salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran yang pasti, sampai batas waktu yang pasti.” (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).

Sedangkan akad Istishna diperbolehkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Saw yang pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ. قَالَ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non-arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non-arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” [Riwayat Muslim].

Beberapa ketentuan dalam akad yang objeknya Mausuf Fi Dzimmah seperti akad Salam, Istishna’ ataupun Ijarah Al Mausuf Fi Dzimmah diantaranya:

Pertama, objek barang yang dijual atau dibeli tersebut harus dapat dijelaskan sifat, karakteristik, takaran (jika barang yang ditakar), terukur spesifikasinya (ma'lum mundhabith) dan waktu penyerahannya harus jelas. Hal terebut agar menghindari terjadinya gharar (ketidak jelasan)

KeduaPembayaran dilakukan secara tunai dan lunas pada saat akad dilaksanakan yakni untuk akad Salam sedangkan untuk Akad Istishna’ dan Ijarah mausuf Fi Dzimmah dimana pembayaran boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai kesepakatan. Pendapat lain ada yang menisbatkan akad Ijarah Mausuf Fi Dzimmah kepada akad salam sehingga pembayarannya harus tunai dan lunas di awal pada saat akad.

Ketiga, pembeli harus memiliki kemampuan untuk mengadakan barang sesuai dengan waktu yang telah disepakai dengan pembeli/pemesan.

Sehingga dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan beberapa implikasi dan Pelajaran yang dapat diambil diantaranya:

Jika Anda bertindak sebagai Penjual Perhatikan Hal Berikut!!

A. Jika Anda Memiliki Barang

  1. Jika Anda hendak menjual suatu barang atau manfaat/jasa yang telah anda memiliki dan dapat dihadirkan saat akad (muayyan) maka tidak ada batasan apapun selain anda telah memiki barang tersebut, yang menjadi tolak ukur adalah keridhaan para pihak.

B. Jika Anda Tidak Memiliki Barang

  1. Jika anda tidak memiliki barang atau manfaat/jasa yang akan dijual, namun anda memiliki potensi untuk menjualkan barang orang lain. Misalnya anda bermaksud untuk menjadi reseller dari pihak Pemasok (supplier) baik di online (marketplace) atau di manapun tanpa perlu melakukan stocking (menyediakan barang), namun hanya memasarkan barang saja yang dimiliki oleh Pemasok (Supplier), maka syaratnya adalah anda harus mendapatkan izin atau kuasa (tawkil/Wakalah) untuk menjualkan barang tersebut. Tidak boleh secara langsung anda memasarkan seakan-akan memiliki barang tersebut dan tidak pula mendapatkan izin untuk memasarkannya. Jika anda lakukan maka termasuk ke dalam larangan hadits menjual barang yang belum dimiliki. Namun jika anda mendapatkan izin untuk memasarkan dan menjualkan barang tersebut dari Pemasok (Supplier) maka transaksi semacam ini tidak terkena larangan hadits nabi Saw tersebut karena posisi anda adalah sebagai pihak penerima kuasa untuk menjualkan barang (Wakil) sedangkan Pemilik barang adalah Pihak Pemberi Kuasa (Muwakkil). Dalam akad Wakalah status Penerima Kuasa adalah sama seperti Pihak Pemberi Kuasa.
  2. Jika Anda tidak memiliki barang, dan tidak pula mendapatkan izin untuk memasarkan dari pemasok (Supplier), namun anda bermaksud untuk memasarkan dan menjual barang tersebut berupa gambar dan spesifikasinya saja dan nantinya jika ada pembeli yang memesan (Pre Order), anda akan memesan kepada Pemasok (supplier) yang ada di pasaran maka ketika itu dilakukan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan: (a) Anda wajib menyampaikan kepada Calon Pembeli/Pemesan bahwa Anda tidak/belum memiliki barang yang pasarkan (not ready stock) sehingga anda perlu memesan terlebih dahulu kepada Pemasok (supplier) dan statusnya adalah Purchase Order (PO). Jangan bertindak seakan-akan anda telah memiliki barang tersebut karena jika dilakukan akan termasuk ke dalam larangan menjual barang yang belum dimiliki. (b) menjelaskan spesifikasi barang dengan detail baik sifat dan karakteristiknya secara jelas termasuk waktu penyerahan barang yang disepakati, agar mengindari terjadinya sengketa. (d) Jika akadnya Salam maka Pembayaran Wajib Tunai dan Lunas di awal, tidak boleh dicicil atau secara bertahap. Sedangkan jika Akadnya adalah Istishna' atau IMFZ pembayaran sesuai kesepakatan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Allahu a’lam.

09 Desember 2024

Mengenal Akad Muhaya’ah Dalam Kepemilikan Harta Bersama

 

Beberapa waktu lalu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa terbaru yang menjadi dasar dan kepastian hukum syariah bagi transaksi atas harta yang dimiliki secara bersama yakni Fatwa DSN-MUI No. 159/DSN-MUI/VII/2024 tentang Jual Beli Al-Mal Al-Musytarak dan Al-Mal Al-Musya.

Ada sebuah akad yang mungkin tidak begitu familiar di telinga kita dan praktik ini pun memang jarang digunakan di tengah-tengah Masyarakat, yaitu Akad Muhaya’ah.

Dalam fatwa 159 tersebut memang tidak menjelaskan secara detail terkait pengertian akad Muhaya’ah namun hanya menyebutkan terkait penggunaan manfaat dari al-Mal al-Musytarak dalam Syirkah-Milk dengan mekanisme Akad muhaya’ah.

Apa sih Akad Muhaya’ah?

Akad Muhaya’ah adalah akad yang dilakukan oleh para mitra (syarik) dalam kepemilikan harta bersama (Syirkah Al Milk) tentang kesepakatan cara dan periode pemanfaatan harta bersama. Melalui akad ini, para mitra dapat mengatur pemanfaatan harta dengan prinsip keadilan dan maslahat bersama.

Misalnya Si A dan si B memiliki mobil yang berasal dari hadiah yang diberikan oleh orang tuanya sehingga terjadi Syirkah Al Milk (kepemilikan secara bersama). Mereka bersepakat bahwa pemakaian dilakukan secara bergantian dengan periode 3 hari yang telah ditentukan. Si A dapat menggunakan mobil pada hari Senin sampai Rabu, sementra Si B dapat mengunakan pada hari Kamis sampai Sabtu. Hari minggu mobil tidak digunakan (untuk perawatan).

Kesepakatan bersama terkait pengaturan waktu (periode) pemanfaatan harta yang dimiliki secara bersama inilah yang disebut Akad Muhaya’ah.

Meskipun akad ini asing di telinga kita, namun sejatinya akad ini pernah dilakukan oleh Sahabat ‘Utsman Bin Affan r.a tatkala beliau membeli sumur Roumah yang dimiliki oleh seorang Yahudi. Peristiwa itu terjadi setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu Kota Madinah mengalami krisis air bersih dan satu-satunya sumur yang tersisa ialah milik seorang Yahudi. Untuk memenuhi kebutuhan air maka kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus mengantri membeli air bersih dengan harga yang mahal dari seorang yahudi tersebut.  Mendengar kabar dari sahabatnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,

مَنْ يَشْتَرِي رَوْمَةَ فَيَجْعَلُهَا لِلْمُسْلِمِيْنَ, يَضْرِبُ بِدَلْوِهِ فِى دِلَائِهِمْ, وَ لَهُ بِهَا مَشْرَبٌ فِى الْجَنَّةِ

“Siapa yang mau membeli sumur Raumah, lalu menjadikannya untuk umat Islam, dia mengambil (air) dengan embernya bersama ember-ember mereka dan maka baginya adalah tempat minum di surga?'

Kemudian Sahabat ‘Utsman r.a. mendatangi Yahudi untuk menawar dalam rangka membelinya, tetapi dia enggan menjual semuanya, maka 'Utsman r.a. membeli setengah sumur Rumah dengan harga 12.000 dirham, lalu menjadikannya untuk digunakan oleh umat Islam.

Sahabat Utsman r.a. berkata kepada Yahudi, “Jika anda mau, anda memberi saya untuk dua masa (hari) sebagai bagian saya; dan jika anda mau, I hari untuk saya, dan I hari untuk anda”. Yahudi tersebut menjawab, “Saya setuju, untuk anda I hari, dan untuk saya I hari”.

Saat datang giliran hari Sahaat ‘Utsman, ‘Utsman berpesan agar umat Islam mengambil air bersih yang cukup untuk digunakan selama 2 hari. Sehingga pada hari dimana menjadi milik Yahudi, Umat Muslim tidak perlu mengantri untuk membeli.

Ketika Yahudi menghadapi kenyataan itu (air sumurnya tidak lagi laku dijual), Yahudi pun berkata kepada Sahabat ‘Utsman, “Anda telah merusak (bisnis) sumur saya, maka belilah setengahnya lagi!” Kemudian 'Utsman r.a. membelinya dengan harga 8.000 dirham.

Sebelum sumur Roumah sepenuhnya menjadi milik ‘Utsman karena pembelian, maka sumur Raumah adalah mal al-musya’ (harta yang tidak jelas batas-batas kepemilikannya secara fisik) dan dimiliki secara bersama-sama antara Sahabat ‘Utsman dan Yahudi (disebut milk al-musya‘); namun sumur tersebut menjadi mal al-Mufraz (harta yang dimiliki satu pihak) pada saat sumur tersebut sepenuhnya menjadi milik ‘Utsman Ibn ‘Affan.

Demikian, sekilas tentang akad Muhaya’ah, nantikan materi selanjutnya.

Semoga bermanfaat

Tabik,

Zuel Fahmi Musa

22 November 2024

Ketika Bank Syariah Menjadi "Investor" Pada SRIA

Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Pedoman dan meluncurkan Produk bernama Shariah Restricted Investment Account (SRIA). Sebuah inovasi produk baru, yang memberikan angin segar bagi semua pihak yang mendambakan produk investasi sesuai dengan karakteristik investasi syariah yang menggunakan konsep Profit and Loss Sharing.

Konsep investasi SRIA ini, sebenarnya memiliki kesamaan dengan konsep yang telah kami lakukan di P2P Financing Syariah. Salah satu perbedaannya adalah adanya pembatasan khusus yang ditentukan oleh Nasabah Investor terhadap projek, waktu atau tempat investasi yang akan disalurkan yg disebut Muqayyadah (restricted).

Perbedaan lainnya adalah jika di P2P Syariah, Penyelenggara hanya bertindak sebagai pihak yang mempertemukan (arranger/wakil) antara Pemilik dana (investor) dengan Penerima Dana. Namun pada SRIA, Bank Syariah tidak bertindak sebagai arranger/wakil tetapi bisa bertindak sebagai Pengelola (Mudharib) dan juga diperkenankan menyertakan dana (sebagai Sahib Al Maal) dalam investasi dengan memiliki porsi pada aset SRIA.

Ketika Bank memiliki 2 peran yaitu sebagai Mudharib dan juga sebagai Investor (Musytarik), maka jika terjadi kerugian sejatinya Bank memiliki 2 risiko yang harus ditanggungnya yakni risiko Imateril (tenaga, waktu dan fikiran untuk pengelolaan) dalam kapasitasnya sebagai Mudharib, dan Risiko Materil (modal) sesuai dengan porsi yang dimiliki dalam kapasitasnya sebagai investor. 

Olehkarena bank menanggung 2 risiko dalam 2 peran yang dijalankan, maka pada saat distribusi imbal hasil investasi pun harus dilakukan sesuai dengan risiko yg ditanggung. Sebelum berbagi hasil dengan Nasbaah Investor, Bank memisahkan imbal hasil yang menjadi haknya sebagai Musytarik terlebih dahulu sesuai dengan porsi modal, baru kemudian sisanya Bank berbagi hasil dalam kaitannya Bank sebagai Mudharib dan Nasabah Investor sebagai Shahib Al Maal sesuai dengan nisbah yg disepakati.

Dengan adanya pemisahan terlebih dahulu, Bank tentu mendapatkan keuntungan yang lebih besar sesuai dengan risiko yang wajib ditanggungnya. Hal tersebut selaras dengan kaidah fiqh bahwa Keuntungan berbanding lurus dengan risiko yang ditanggunh;
الغنم بالغرم أو الخراج بالضمان

Mekanisme distribusi imbal hasil ini telah dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah yaitu bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (Mudharib) menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi seperti pada SRIA ini.  

Namun Fatwa Nomor 50 tentang Mudharabah Musytarakah dan mekanisme distribusi imbal hasil ketika Bank selain bertindak sebagai Mudharib juga bertindak sebagai Investor ini, belum disertakan dalam Pedoman SRIA yang telah dikeluarkan oleh OJK.

Semoga ini dapat menjadi masukan dan bermanfaat bagi semua. 

#ZuelFahmi
#MudahrabahMuqayyadah
#SRIA
#SahriaRestrictedInvestmentAccount
#BankSyariah
#FintekSyariah

07 November 2024

Akad Jual Beli (Al Bai')

Pengertian Jual Beli (Al Bai')

Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti al­ mubadalah (saling menukar). Adapun pengertian jual beli secara istilah, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam definisi­ definisi berikut ini:

Pengertian jual beli menurut Sayyiq Sabiq adalah: 

مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى سَبِيلِ التَّرَاضِي أَوْ نَقْلُ مِلْكٍ بِعِوَضٍ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ

"Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling meridhai atau memindahkan hak milik disertai penggantinya dengan cara yang dibolehkan".

 Pengertian jual beli menurut Taqiyuddin adalah:

 مُبَادَلَةُ مَالٍ قَابِلٍ لِلتَّصَرُّفِ بِإِيجَابٍ وَقَبُولٍ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ 

"Saling menukar harta (barang) oleh dua orang untuk dikelola (ditasharafkan) dengan cara ijab dan qabul sesuai dengan syara."

 Pengertian jual beli menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah: 

 مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عِلَى وَجْهِ مَخْصُوْصٍ

"Saling tukar menukar harta dengan cara tertentu."

Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami inti jual beli adalah suatu petjanjian tukar-menukar benda (barang) yang mempunyai nilai, atas dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai dengan petjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara'.

Yang dimaksud dengan ketentuan syara' adalah jual beli tersebut dilakukan sesuai dengan persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Maka jika syarat-syarat dan rukunn ya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'.

Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai yakni benda-benda yang berharga dan' dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara'.  

Menurut pandangan fuqaha Malikiyah, jual beli dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu jual beli yang ber­sifat umum dan jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Artinya sesuatu yang bukan manfaat ialah benda yang ditukarkan adalah berupa dzat (berbentuk) dan ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang mempuyai kriteri antara lain, bukan kemanfaat­an dan bukan pula kelezatan, yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisissr dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang tersebut ada di hadapan si pembeli maupun tidak dan barang tersebut telah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.

Dasar Hukum Jual Beli 

Transaksi jual beli merupakan aktifitas yang dibolehkan dalam Islam, baik disebutkan dalam al-Qur'an, al-Hadits mau­pun ijma' ulama. Adapun dasar hukum jual-beli adalah: 

  • Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا...

"...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" 

  •  Dalam surat an-Nisa' ayat 29. 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan periagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu".

  • Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari  hadits Rasulallah Saw. adalah sebagaimana sabdanya: 

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ 

"Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan"

Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai keboleh­an akad jual beli. Ijma' ini memberikan hikmah bahwa kebutuh­an manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam ke­pemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya . Sehingga dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.


Rukun Jual Beli 

Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan mengenai rukun jual beli. Menurut fuqaha kalangan Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul." Sedangkan menurut jumur ulama, rukun jual beli terdiri dari akad (ijab dan qabul), 'aqid (penjual dan pembeli), ma'qud alaih (objek akad).

Akad adalah kesepakatan (ikatan) antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Akad ini dapat dikatakan sebagai inti dari proses berlangsungnya jual beli, karena tanpa adanya akad tersebut, jual beli belum dikatakan syah. Di samping itu akad ini dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan (keridhaan) antara dua belah pihak. Kerelaan memang tidak dapat dilihat, karena ia berhubungan dengan hati (batin) manusia, namun indikasi adanya kerelaan tersebut dapat dilihat dengan adanya ijab dan qabul antara dua belah pihak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَتَفَرَّقَنِ اثْنَانِ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ

"Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw. bersabda: Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah , sebelum mereka saling meridhai".

Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi dalam Rukun Jual Beli 

Ulama mazhab telah berbeda pendapat dalam menentu­kan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam rukun jual beli, baik dalam akad, 'aqid, ataupun dalam ma'qud 'alaih. Ada­ pun pendapat-pendapat mereka akan diuraikan berikut ini: 

Syarat-syarat Shigat (ijab dan qabul)
 
Ijab dari segi bahasa berbarti "pewajiban atau per­kenaan", sedangkan qabul berarti "penerimaan". Ijab dalam jual beli dapat dilakukan oleh pembeli atau penjual sebagai­mana kabul juga dapat dilakukan oleh penjual atau pem­beli. Ucapan atau tindakan yang lahir pertama kali dari salah satu yang berakad disebut ijab, kemudian ucapan atau tindakan yang lahir sesudahya disebut qabul." 

Menurut ulama Hanfiyah, terlaksananya ijab kabul tidak harus diekspresikan lewat ucapan (perkataan) tertentu, sebab dalam hukum perikatan yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang dihasilkannya. Ukuran ijab dan qabul adalah kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi dan adanya tindakan, memberi tindakan mem­beri atau menerima atau indikasi dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan dalam memindahkan kepemilik­an. Kata bi'tu (saya menjual), malaktu (saya memiliki), isytaraitu (saya beli) dan akhadtu (saya ambil) merupakan contoh lafadh akad jual beli yang jelas menunjukkan kerela­an." Adapun menurut ulama Syafi'iyah bahwajual beli tidak sah kecuali dilakukan dengan sighah yang berupa ucapan tertentu atau cara lain yang dapat menggantikan ucapan, seperti jual beli dengan tulisan, utusan orang atau dengan isyarat tunawicara yang dapat dimengerti (dipahami maksudnya). 

Ijab qabul dengan tulisan (surat dianggap sah jika kedua belah pihak yang berakad berada di tempat yang saling ber­jauhan satu sama lain atau pihak yang berakad tidak dapat berbicara. Akan tetapi apabila penjual dan pembeli berada dalam satu majelis akad dan tidak ada halangan untuk me­lakukan akad dengan ucapan, maka akad tersebut tidak sah jika tidak dipenuhi dengan syarat transaksi jual beli selain dengan kata-kata.

Syarat lain untuk syahnya ijab dan qabul, menurut pendapat ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, adalah adanya kesinam­bungan antara keduanya dalam satu majelis akad tanpa ada pemisah yang dapat merusak akad. Sementara itu ulama Malikiyah berpendapat bahwa keterpisahan antara ijab dan qabul tidak akan merusak akad jual beli selama hal ter­sebut terjadi menurut kebiasaan. 

Kemudian syarat lain yang harus dipenuhi dalam ijab qabul adalah adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul ter­hadap harga barang yang diperjualbelikan. Apabila tidak ada kesesuaian harga, berarti tidak ada kesesuaian antara ijab dengan qabul. Misalnya penjual berkata, "saya men­jual baju ini dengan harga Rp 50.000,-", kemudian pembeli menjawab, "saya beli baju ini dengan harga Rp. 40.000,-. Proses ijab qabul tersebut menggambarkan jual beli yang tidak sah, karena tidak adanya kesesuaian harga yang di­sepakati, kecuali apabila si penjual menerima penawaran harga si pembeli dengan harga Rp. 40.000,- tersebut.  

Syarat-syarat Aqid (Penjual dan Pembeli) 
Penjual dan pembeli biasa digolongkan sebagai orang yang berakad. Persyaratan yang harus dipenuhi penjual sama dengan persyaratan yang harus dipenuhi pembeli. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah sebagai berikut: 
  • Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum Islam dikenal istilah baligh ( dewasa) dan berakal sehat. Berdasarkan syarat ini maka jual beli di bawah umur dan orang tidak berpikiran sehat, menurut jumhur ulama, dianggap tidak sah. Adapun menurut madzab Hanafi, baligh tidak menjadi syarat sah jual beli. Karena itu anak di bawah umur tetapi dia sudah mumayyiz (anak yang dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk) dapat melakukan akad jual bell, selama jual beli tersebut tidak memudharatkan dirinya dan men­dapatkan izin atau persetujuan dari walinya.
  • Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri. Karena itu apabila akad jual beli dilakukan karena ter­paksa baik secara fisik atau mental, maka menurut jum­hur ulama, jual beli tersebut tidak sah. Hal tersebut sesuai firman Allah: 

 إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"...kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka" (QS. An-Nisa : 29).

Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah Saw;

 إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

"Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan" 

Adapun Abdurrahman al-Jaziri mengutip secara terperinci tentang pandangan empat madzab dalam masalah pemaksa­an dalam jual beli ini.

Pertama, menurut ulama madhab Hambali menyatakan bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad tidak boleh di­paksa baik secara lahir maupun batin. Apabila keduanya hanya sepakat secara lahiriyah maka jual beli tersebut batal demi hukum. Misalnya, kedua belah pihak sepakat melakukan jual beli atas suatu barang dengan segera, karena khawatir atas orang lalim yang akan merampas barang tersebut. Sehingga seseorang men­jual barangnya hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan (me­lindunginya) dari kejahatan orang lain. Apabila kondisi sudah kembali aman, maka penjual (sebagai pemilik barang) mem­peroleh kembali barangnya dari pembeli dan mengembalikan kembali harga barang (uang) kepada si pembeli. Dalam kasus semacam ini, secara lahiriyah mereka me­mang sepakat melakukan jual beli, tetapi secara bathiniyah se­benarnya mereka tidak ingin melakukan jual beli seperti itu. Jual beli dengan melalui proses sernacarn ini dinamakan bai'ah at-talji'ah wa al-aman (jual beli untuk melindungi dan meng­amankan barang). Tetapi apabila seseorang menjual barang untuk menghindari kelaliman orang lain tanpa didasari kesepakatan dengan pembeli (jual bell ini merupakan talji'ah/per­lindungan baginya), maka hukum jual beli tersebut menurut madhhab Hambali adalah sah karena prosesnya terjadi tanpa paksaan. Namun menurut madhhab ini, putusan seorang hakim kepada seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutang-hutangya tidak dinamakan jual bell paksaan, karena paksaan dalam kasus ini terjadi sebab adanya suatu hak. Contoh, seseorang yang dipaksa untuk menjual barangnya guna untuk perluasan jalan, masjid, pekuburan, nafkah istri atau orang tua­nya termasuk paksaan karena suatu hak.

Kedua, menurut madzab Hanafi bahwa akad yang dipaksa­kan oleh seseorang kepada orang lain dianggap sah, tetapi kedua belah pihak dapat memfasakh atau membatalkannya karena terdapat cacat hukum. Menurut mereka apabila seorang hakim memaksa orang lain menjual barangnya guna melunasi hutang­nya dengan perbedaan harga yang mencolok antara harga pasaran, jual beli tersebut dinyatakan fasid.

Ketiga, Ulama madhhab Maliki menyatakan bahwa jual beli tidak mempunyai kekuatan hukum apabila terdapat unsur paksaan tanpa hak. Paksaan tanpa hak menurut mereka terdapat dua macam, yaitu:

  • Paksaan untuk menjual, seperti seorang lalim memaksa orang lain untuk menjual seluruh atau sebagian barang­nya. Jual beli semacam ini tidak mempunyai akibat hukum, jadi penjual dapat meminta kembali barang yang dijual­nya dan harus mengembalikan harga barang tersebut, selama barang tersebut tidak rusak di tangan pembeli.
  • Paksaan karena suatu alasan yang akhirnya memaksa sese­orang untuk menjual barangnya, seperti seseorang memaksa orang lain menyerahkan sejumlah uang yang tidak mampu dia berikan. Akhirnya dia menjual barang miliknya untuk mendapatkan uang yang dimaksud. Jual beli semacam ini tidak disepakati menurut pendapat yang masyhur di kalang­an ulama Malikiyah. Jual beli yang demikian tidak mempu­nyai kekuatan hukum. Namun sebagian kalangan madzab Maliki ada yang berpendapat bahwa jual beli tersebut tetap mempunyai kekuatan hukum, karena dengan pertimbangan masih adanya kemaslahatan bagi penjual. Jalan keluar dari paksaan dari orang lalim yang meminta uang kepada orang lain yang tidak sanggup memberikannya sehingga dia dipenjarakan, adalah menjual barang yang dimiliki guna mendapatkan uang yang diminta orang lalim itu agar dia selamat dari derita bila dia dipenjara. Seandai­nya jual beli tersebut tidak sah, tidak ada seorangpun akan datang untuk membeli barang itu sehingga merugikan penjual karena dia harus masuk penjara. Oleh sebab itu proses jual beli tersebut telah disepakati sebagian besar madhhab Maliki, sebagai jual beli sah dan mempunyai kekuatan hukum." Atas dasar pernyataan di atas, menurut madzab Maliki, paksaan karena suatu hak tidak meng­halangi sahnya jual beli, bahkan menjadi wajib melaksana­kannya. Sebagai contoh, kepala negara dapat memaksa salah seorang gubemumya untuk menjual barang-barang miliknya untuk diberikan kepada rakyatnya sebagai ganti dari apa yang telah diambil secara lalim olehnya. Menurut mereka, sama hukumnya dengan kasus di atas apabila seorang hakim memutuskan untuk menjual barang orang yang berutang guna membayar hak orang yang berpiutang . 

Keempat, ulama madhhab Syafi'i berpendapat banwa jual beli yang di dalamnya terdapat unsur paksaan dianggap tidak sah. Namun menurut mereka, jenis paksaan menjual barang dapat dibagi menjadi dua:

  • Paksaan tanpa suatu hak, artinya seseorang memaksa orang lain padahal dia tidak punya hak untuk memaksa.
  • Paksaan karena suatu hak, seperti hakim atau pihak yang mempunyai wewenang memaksa orang lain untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya. Paksaan seperti ini tidak mencacatkan akad jual beli dan hukum akad tersebut adalah sah. 
Syarat-syarat dalam ma'qud alaih (objek akad) 

Ma'qud 'alaih (objek akad) adalah barang yang diperjualbelikan. Para ulama telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam ma'qud alaih ada empat macam. Sementara Sayyid Sabiq berpendapat bahwa syarat ma'qud 'alaih ada enam macam. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena pada dasarnya dua dari enam syarat ini telah tercakup pada empat syarat. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 

  • Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad berlangsung. Apabila barang tersebut tidak dapat diketahui, maka jual beli tidak sah. Untuk mengetahui­nya barang yang akan dibeli perlu dilihat sekalipun ukurannya tidak diketahui, kecuali pada jual beli salam. Jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang telah di­tetapkan sifat-sifatnya terlebih dahulu (namun barang belum diserahkan) dengan pembayaran kontan. Ada pun jual beli suatu barang yang tidak dapat dilihat ketika akad, boleh dilakukan dengan syarat bahwa sifat­-sifat barang tersebut disebutkan (dijelaskan), sehingga pembeli merasa yakin dengan sifat-sifat barang yang dijelaskan tersebut. Namun jika barang tersebut temyata berbeda dengan sifat-sifat yang disebutkan, maka si pembeli berhak untuk melakukan khiyar yaitu hak me­ milih antara meneruskan akad atau membatalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَاهُ

"Siapa yang membeli suatu barang yang tidak dapat dilihatnya, maka dia mempunyai hak khiyar apabila melihatnya" 

Penyebutan sifat yang jelas atau sifat yang diketahui menurut 'urf (adat) setempat juga berlaku terhadap barang-barang terjaga dengan baik (dalam kemasan), misalnya obat-obatan, tabung oksigen (gas), makanan atau minuman kaleng untuk dipetjualbelikan dalam keadaan tertutup kecuali akan digunakan. Karena apabila dijual dalam keadaan terbuka akan menimbulkan bahaya atau merusak kualitasnya.
  • Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga. Berharga yang dimaksud dalam konteks ini adalah suci dan halal ditinjau dari aturan agama Islam dan mempunyai manfaat bagi manusia. Berkaitan dengan suci bendanya, Rasulullah SAW. bersabda: 

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنزِيرِ وَالْأَصْنَامِ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا تَقُولُ فِي شَحْمِ الْمَيْتَةِ؟ يَسْتَعْمِلُهُ النَّاسُ فِي السُّفُنِ، وَيَدْهَنُونَ فِيهِ جُلُودَهُمْ، وَيَسْتَصْبِحُونَ بِهِ؟" فَقَالَ: "لَا هُوَ حَرَامٌ

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr (minuman keras), bangkai, babi, dan berhala. Rasulullah SAW ditanya: 'Apa yang Anda katakan tentang minyak bangkai? Orang-orang menggunakannya untuk kapal, melicinkan kulit, dan sebagai penerangan?' Rasulullah SAW menjawab: 'Tidak halal, itu adalah perbuatan haram." (HR. Muslim)

Para ulama telah berbeda pendapat terhadap pengerti­an hadits di atas. lbn Qayyim al-Jauziyah, mengatakan bahwa perkataan haram dari Rasul Saw. mengandung dua penafsiran yaitu perbuatan tersebut haram dan jual beli tersebut haram sekalipun pembeli membeli­nya untuk kepentingan tertentu selain dimakan. Kalang­an jumhur ulama berpendapat, barang tersebut diharam­kan karena dianggap najis. Sedangkan menurut kalang­an Hanafiyah dan Dhahiriyah, barang yang ada manfaatnya dibolehkan menurut syara'.Karena itu menurut mereka dibolehkan mempetjualbelikan kotoran najis yang benar-benar diperlukan untuk pupuk tanaman, bukan untuk dimakan atau diminum. Karena dalam riwayat lain diterangkan bahwa Ibn Umar pemah di­ tanya mengenai minyak yang kejatuhan tikus. Kemu­dian Ibn Umar mengatakan, "pakailah minyak itu untuk penerangan dan gorenglah lauk paukmu dengan minyak itu".

Adapun barang yang dijual harus ada manfaatnya, dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa boleh memperjualbelikan anjing untuk keperluan menjaga keamanan dari kejahatan dan menjaga tanaman. Sementara itu Atha' dan an-Nakha'i membolehkan menjual anjing hanya untuk kepentingan berburu saja, karena Rasulullah membolehkan memakan daging dari hasil anjing buruan saja.

  • Benda yang dipetjualbelikan merupakan milik pen­jual. Maka jual beli barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah. Benda tersebut dianggap sebagai milik penjualnya, apabila proses transaksi jual belinya diizinkan oleh pemiliknya. Proses jual beli yang tidak mendapat izin dari pemiliknya disebut jual beli fudhuli. Misalnya, seorang suami menjual barang milik istrinya yang tanpa izin darinya. Akad dalam proses jual beli  fudhuli tersebut menurut madzhab Maliki dianggap sah menurut hukum, tetapi kepastian hukumnya masih ditangguhkan sampai dibolehkan atau diizinkan oleh pemilik atau walinya. Apabila dia membolehkan­nya, maka jual beli tersebut sah, namun jika tidak, jual beli tersebut menjadi batal. Sehubungan dengan jual beli semcam ini terdapat sebuah hadits yang menerang­kan bahwa seorang sahabat bemama Urwah al-Bariqi berkata: 

"Rasul memberi saya satu dinar untuk membeli seekor kambing. Dengan uang tersebut saya mendapat dua ekor kambing. Saya jual salah satunya seharga satu dinar dan seekor lagi kuserahkan kepada Rasul beserta uang satu dinar tadi. Rasul bersabda : Allah memberkahi kamu dengan akad yang kamu lakukan"

  • Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad. Artinya benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad. Karena itu, ikan di air (kolam) tidak boleh diperjualbelikan karena tidak dapat diserah­ terimakan dan mengandung ketidakpastian. Bentuk penyerahan benda dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pada benda yang bergerak dan benda tidak ber­gerak. Teknis penyerahan benda bergerak dengan beber­apa macam, yaitu: 
    • Menyempumakan takaran atau ukurannya baik dengan takaran, timbangan dan sebagainya untuk menentukan ukuran sesuatu. 
    • Memindahkannya dari tempatnya jika termasuk benda yang termasuk benda yang tidak diketahui kadarnya secara terperinci kecuali oleh ahlinya, misal­nya benda yang dikemas dalam botol atau kaleng.
    • Kembali kepada 'urf (adat) setempat yang tidak disebutkan di atas.
    • Adapun penyerahan benda yang tidak dapat ber­gerak cukup mengosongkannya atau menyerah­kan surat atau sertifikasinya. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid sabiq.

01 November 2024

Khiyar Dalam Transaksi

Pengertian Khiyar 

Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh dua pihak yang berakad ('aqidain) untuk memilih antara meneruskan akad, atau membatalkannya dalam kyiyar syarat dan khiyar 'aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah benda dalam khiyar ta'yin. Sebagian khiyar adakalanya bersumber dari kesepa­katan seperti khiyar syarat dan khiyar ta'yin dan sebagiannya lagi bersumber dari ketetapan syara' seperti khiyar 'aib. 

Menurut Wahbah Az-Zuhaili ada tujuh belas macam khiyar, namun di dalam kitabnya dia hanya menyebutkan enam macam khiyar yang populer, sebagaimana yang akan diterang­kan berikut ini: 




Khiyar Majlis

Khiyar majlis adalah setiap 'aqidain mempunyai hak untuk memilih antara meneruskan akad atau mengurung­ kannya sepanjang keduanya belum berpisah. Artinya suatu akad belum bersifat lazim (pasti) sebelum berakhirnya majlis akad yang ditandai dengan berpisahnya 'aqdain atau dengan timbulnya pilihan lain. Namun khiyar majlis ini tidak berlaku pada setiap akad, melainkan hanya berlaku pada akad al­ mu'awadhah al-maliyah, seperti akad jual beli dan ijarah. Khiyar majlis dipegang teguh oleh fuqaha Syafi'iyah dan Hanabilah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim, sebagaimana sabda Rasulallah Saw:

"Dua pihak yang melakukan jual beli, memiliki hak khiyar (memilih) selama keduanya belum berpisah".

Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada khiyar majlis dalam jual beli, menurut mereka, akad telah dianggap sempuma dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan kabul. Karena itu khiyar majlis setelah terjadinya ijab dan kabul dianggap sebagai pelanggaran terhadap akad. Menurut mereka makna al-bai'ani diartikan (secara ta'wil) dengan proses tawar­ menawar sebelum ada keputusan akad, teks hadits maalam yatafarraqa dita'wilkan dengan "terputus lisan" tidak dengan pengertian "terputus secara badani". Artinya apabila ijab dan kabul telah terputus dengan perkataan lain, maka masing­ masing pihak dapat membatalkannya. Khiyar yang demikian.; ini menurut madhhab Hanafi disebut sebagai khiyar qabul atau khiyar ruju'.  

Khiyar Ta'yin

Khiyar ta'yin adalah hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara sifat atau harganya. Khiyar ini hanya berlaku pada akad mu'awadhah al-maliyah yang mengakibatkan perpindahan hak milik, seperti jual-beli. Keabsahan khiyar ta'yin menurut madhhab Hanafi hams memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

  1. Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad.
  2. Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan hams setara dan harganya hams jelas. Jika nilai dan sifat masing-masing benda berbeda jauh, maka khiyar ta'yin ini menjadi tidak berarti.
  3. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.

Adapun imam Syafi'i dan Ahmad lbn Hanbal menyang­kal keabsyahan khiyar ta'yin ini, dengan alasan bahwa salah satu syarat obyek akad adalah harus jelas.  

Khiyar Syarat

Khiyar syarat adalah hak 'aqidain untuk melangsungkan atau membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan ketika akad berlangsung. Seperti ucapan seorang pembeli "saya beli barang ini dengan hak khiyar untuk diriku dalam sehari atau tiga hari". Khiyar syarat ini hanya ber­laku pada jenis akad lazim yang dapat menerima upaya fasakh (pembatalan) seperti pada akad jual-beli, mudharabah, muzara'ah, ijarah, kafalah, musaqah, hiwalah dan lain-lain. Sedangkan khiyar ini tidak berlaku pada akad ghair lazim: seperti pada akad wakalah, 'ariyah, wadi'ah, hibah dan wasiah. Khiyar syarat ini juga tidak berlaku pada akad lazim yang tidak menerima upaya fasakh, seperti akad nikah, thalak dan khulu'. Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut ini: 

  1. Terjadi penegasan pembatalan atau penetapan akad.
  2. Batas waktu khiyar telah berakhir
  3. Terjadi kerusakan pada obyek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan berakhirlah khiyar. Namun jika kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan pembeli maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad.
  4. Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak, bertelur atau mengembang.
  5. Wafatnya sahib al-khiyar. Pendapat tersebut menurut pandangan Madhhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan menurut madhhab Syafi'i dan Maliki bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris menggantikan shahib al-khiyar yang wafat. 

Khiyar 'Aib

Khiyar 'Aib adalah hal yang dimiliki oleh salah seorang dari 'aqidain untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak memberitahukannya pada saat akad . Khiyar 'aib ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah Saw: 


"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang muslim menjual (barang) yang mengandung cacat ('aib) kepada saudaranya kecuali jika dia menjelaskan (adanya cacat) kepadanya"

Khiyar 'aib harus memenuhi persyaratan sebagai ber­ ikut:
  • Aib (cacat) tetjadi sebelum akad, atau setelah cacat namun belum terjadi penyerahan. Jika cacat tersebut tetjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam peng­uasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar.
  • Pihak pembeli tidak mengetahui cacat tersebut ketika berlangsung akad a tau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya setelah mengetahui­nya, maka tidak ada hak khiyar baginya.
  • Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jaw ab terhadap segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti ini, maka hak khiyar pembeli menjadi gugur.
Hak khiyar 'aib ini berlaku semenjak pihak pembeli me­ngetahui adanya cacat setelah berlangsung akad. Adapun mengenai batas waktu untuk menuntut pembatalan akad ter­dapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktu berlakunya, ber­laku secara tarakhi. Artinya pihak yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika dia mengetahui cacat ter­sebut. Namun menurut fuqaha Malikiyah dan Syafi'iyah batas waktunya berlaku secara faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus segera menggunakan hak khiyar secepat mungkin, jika dia mengulur-ulur waktu tanpa memberikan alasan, maka hak khiyar menjadi gugur dan akad dianggap
telah lazim (sempurna). Hak khiyar 'aib gugur apabila berada dalam kondisi berikut ini: 
  • Pihak yang dirugikan merelakan setelah dia menge­ tahui cacat tersebut
  • Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pem­batalan akad
  • Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam peng­uasaan pihak pembeli
  • Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli, baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun segi ukuran seperti mengembang. 
Khiyar Ru'yah

Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasnya. 

Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Namun menurut Imam Syafi'i khiyar ru'yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada di tempat) sejak se­mula dianggap tidak sah. Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru'yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits: 

"Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya."

Khiyar Naqd

Khiyar Naqd tersebut terjadi apabila dua pihak melaku­kan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, a tau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugi­kan mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melang­sungkan akad.



Akad - Akad Dengan Prinsip Sewa Menyewa

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Sewa Menyewa yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah. ...