30 Oktober 2024

Perikatan Dan Perjanjian (Al 'Aqd)

PERIKATAN DAN PERJANJIAN (AL-'AQD) 

Pengertian Akad

Perikatan dan perjanjian dalam konteks fiqh mu'amalah dapat disebut dengan "akad". Kata akad berasal dari bahasa Arab yaitu al-'aqd bentuk jamaknya adalah al-'uqud yang mempunyai beberapa arti antara lain: 

Pertama, Mengikat (Ar-Rabith), yaitu:

جَمْعُ طَرَفَيْ حَبْلَيْنِ وَ يَشُدُّ اَحَدُهُمَا بِالْأَخَرِ حَتَّى يَتَّصِلا فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
"Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda." 

Kedua, Sambungan (al-'aqd), yaitu:

الْمَوْصِلُ الَّذِى يُمْسِكُهُمَا وَ يُؤَسِّكُهُمَا
"Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya." 

Ketiga, Janji (al-'ahd), sebagaimana yang dijelaskan AI-Qur'an dalam surat Ali Imran 76:
 
بَلٰى مَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ وَاتَّقٰى فَاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
"(Bukan demikian), sebenarya siapa yag menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa. Maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian akad paling tidak mencakup: 

  1. Perjanjian (al-'ahd)
  2. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
  3. Perikatan (al-'aqd)
Adapun secara istilah (terminologi) ada beberapa definisi (pengertian) akad, pengertian tersebut antara lain:

اِرْتِبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثْرَهُ فِيْ مَحَلِّهِ
"Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang berpengaruh pada objek periktan"

مَجْمُوْعُ إِيْجَابِ أَحَدِ الطَّرَفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الْأَخَرِ اَوِ الْكَلَامُ الْوَاحِدُ الْقَائِمُ مَقَامَهُمَا
"Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak"

مَجْمُوْعُ الْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ إِدَّعَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا مَعَ ذَلِكَ الْإِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
"Terkumpulnya persyaatan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum"

رَبْطُ أَجْزَاءِ التَّصَرُّفِ بِالْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ شَرْعًا
"Ikatan atas baguan-bagian tashorruf menurut syara' dengan cara serah terima"

Dalam akad pada dasarnya dititikberatkan pada kese­pakatan antara dua belah pihak yang ditandai dengan ijab­ qabul. Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara'. Karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepa­katan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari'ah Islam. 


Rukun-Rukun Akad 
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha ber­kenaan dengan rukun akad. Menurut jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas;
  1. 'Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dua orang atau lebih. Pihak yang berakad dalam transaksi jual bell di pasar biasanya terdiri dari dua orangyaitu pihak penjual dan pembeli. Dalam hal warisan, misalnya ahli waris bersepakat untuk mem­berikan sesuatu kepada pihak lain, maka pihak yang diberi tersebut boleh jadi terdiri dari beberapa orang.
  2. Ma'qud 'Alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang ada dalam transaksi jual beli, dalam akad hibah, dalam akad gadai dan bentuk-bentuk akad lainnya.
  3. Shighat al 'Aqd yang terdiri dari ijab dan qabul. Pengertian ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya da­lam mengadakan akad. Sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang lain, yang diucapkan setelah adanya ijab. Ada pun pengertian ijab-qabul pada sekarang ini dapat dipahami sebagai bentuk bertukamya sesuatu dengan yang lain, sehingga sekarang ini berlangsungnya ijab-qabul dalam transaksi jual beli tidak harus berhadapan (bertemu langsung). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-'aqd ialah: 
    • Shighat al-'aqd harus jelas pengertiannya, maka kata­-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak menimbul­kan banyak pengertian (bias), misalnya seseorang meng­ucapkan "aku serahkan benda ini". Kalimat tersebut masih belum dapat dipahami secara jelas, apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan atau titipan. 
    • Antara ijab dengan qabul harus bersesuaian, maka tidak boleh antara pihak berijab dan menerima (qabul) berbeda lafadh, sehingga dapat menimbulkan perseng­ketaan, misalnya seseorang mengatakan "aku serahkan benda ini sebagai titipan", kemudian yang mengucapkan qabul berkata "aku terima benda ini sebagai pemberian".
    • Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak­-pihak yang bersangkutan tanpa adanya unsur paksaan atau ancaman dari pihak lain.  
Sementara itu fuqaha dari kalangan Hanafiyah berpen­dapat bahwa rukun jual-beli itu hanya berupa shighat al-'aqd (ijab dan qabul). Menurut mereka 'aqid dan ma'qud 'alaih bukan termasuk rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Perbedaan ini timbul akibat perbedaan mereka dalam memahami antara pengertian rukun dan syarat.  Makna rukun menurut kalangan ahli fiqh dan ahli ushul fiqh: 

"Sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhili) dari sesuatu yang ditegakkannya"

Sesuai dengan pengertian di atas, maka rukun akad ada­lah kesepakatan antara dua belah pihak yaitu ijab dan qabul. Sedangkan pihak pelaku ijab dan qabul (menurut pengertian di atas) tidak termasuk dalam rukun dari perbuatannya, karena pelaku tidak termasuk bagian internal (dakhili) dari perbuat­annya. Sebagaimana seseorang melakukan ibadah sholat, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai rukun shalat. Namun demikian sebagian fuqaha seperti al-Ghazali (seorang ulama Syafi'iyah) dan Syihab al-Karakhi (seorang ulama Malikiyah) berpendapat bahwa 'aqid sebagai rukun akad dengan pengerti­an dia merupakan salah satu dari pilar utama dalam tegaknya kad.'

Adapun pengertian syarat menurut fuqaha dan ahl al­ ushul adalah:
 
"Segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal" 

Maksud dengan tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyruth (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyruth. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahl al ushul adalah

"Setiap peristiwa yang mana syara' mengaitkannya terhadap ada dan tidaknya sesuatu yang lain sedang ia bersifat eksternal".

Dengan demikian antara rukun, syarat dan sebab, meru­pakan bagian yang sangat penting bagi suatu akad. Bedanya rukun bersifat internal, sedangkan syarat dan sebab bersifat eksternal. Adapun perbedaan antara syarat dengan sebab ada­lah bahwasanya sebab selalu dikaitkan dengan ada dan tiada­nya musyabab, sedangkan syarat dikaitkan dengan tiadanya masyruth, tidak dikaitkan dengan masyruth

Syarat-syarat Akad 
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentu­kan syara' yang wajib disem purnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam: 
  1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
  2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pemikahan. 
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad: 
  1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap (orang gila, orang yang ber­ada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya) akadnya tidak sah.
  2. Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
  3. Akad itu diizinkan oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan 'aqid yang memiliki barang.
  4. Akad bukan jenis akad yang dilarang, sepeti jual-beli mulamasah (akad jual beli dimana pembeli wajib membeli jika menyentuh barang).
  5. Akad dapat memberikan faedah, maka tidaklah sah apabila akad rahn dianggap sebagai amanah.
  6. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab' tersebut dicabut (dibatalkan) sebelum adanya qabul.
  7. ljab dan qabul harus bersambung, jika seseorang melaku­kan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal). 

Macam-Macam Akad 
Adapun yang termasuk macam-macam akad adalah: 
  1. Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pemyataan akad yang diikuti dengan pelaksanan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
  2. 'Aqad Mu'alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang di­akadkan setelah adanya pembayaran. 
  3. 'Aqad Mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penangguhan pelaksana­an akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkataan tersebut sah di­lakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. 
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan, yaitu:  
  • Dalam keadaan muwadha'ah (taljih), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya, dalam ha! ini ada tiga bentuk: 
    1. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja, untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut dijual, seperti menjual harta untuk menghindari penguasa yang dhalim atau menjual harta untuk menghindari pembayaran hutang, ha! ini disebut mu'tawadhah. 
    2. Mu'awadhah terhadap benda yang digunakan untuk akad, seperti dua orang bersepakat menyebutkan mahar dalam jumlah yang besar dihadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita sepakat menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenar­nya telah sepakat dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga muwadha' fi al-badal
    3. Mu'awadhah pada pelaku (isim mustatir), ialah sese­orang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas nama­nya sendiri yang sebenarnya barang tersebut untuk keperluan orang lain, Seperti seseorang membeli mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperlu­an-keperluan lainnya, setelah selesai semuanya baru dia mengumumkan bahwa akad yang telah dilaku­kan sebenarnya untuk orang lain, pembeli sebenarnya hanya merupakan wakil dari pembeli yang sebenar­nya, hal ini disebut wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
  • Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main­ main, mengolok-olok (istihza') yang tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl terwujud dalam beberapa bentuk antara lain dengan muwadha'ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad, bahwa akad tersebut hanya main-main, a tau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; buku ini pura-pura saya jual kepada Anda" atau dengan cara lain yang menunjukkan adanya qarinah hazl
Kecederaan-kecederaan kehendak ialah karena:  
  • Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
  • Khilabah, ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda.
  • Ghalath, ialah persangkaan yang salah, seperti sese­orang membeli sepeda motor, dia menyangka sepeda motor tersebut masih dalam kondisi normal (baik), tetapi ternyata sepeda motor tersebut sudah turun mesin (rusak).

Disamping akad munjiz, mu'alaq dan mudhaf, pada dasar­nya macam-macam akad masih banyak jenisnya, tergantung dari sudut tinjauannya. Perbedaan-perbedaan tinjauan akad dapat diklasifikasikan dari segi: 
  • Ada dan tidaknya qismah pada akad, dalam segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
    • Akad musammah yaitu akad yang tel ah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual-beli, hibah, ijarah dan lain-lain.
    • Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetap­kan oleh syara' dan belum ditetapkan hukum-hukum­nya. 
  • Disyari'atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad dibagi menjdi dua bagian: 
    • Akad musyara'ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara' seperti gadai dan jual-beli.
    • Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual ikan dalam kolam atau anak binatang masih dalam perut induknya. 
  • Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi men­jadi: 
    • Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum ataupun khusus.
    • Akad fasidah yaitu akad-akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, baik dalam syarat umum ataupun khusus. 
  • Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad dibagi menjadi: 
    • Akad 'ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barangnya, seperti jual-beli. 
    • Akad ghair 'ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa disertai dengan penyerahan barangpun akad telah berhasil, seperti akad amanah. 
  • Akad ditinjau dari segi cara melakukannya, terbagi:
    • Akad yang harus dilakukan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan yang harus dihindari oleh dua orang saksi, wali maupun petugas pencatat nikah.
    • Akad ridha'iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan tetjadi karena kedua belah pihak saling meridhai, seperti yang terjadi pada akad umum­nya.
  • Berlaku dan tidaknya akad, dari segi mni dapat terbagi menjadi dua bagaian: 
    • Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
    • Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui oleh pemilik harta). 
  • Luzm dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat: 
    • Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh. Tetapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara' seperti thalak dan khulu'.
    • Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetuju­an jual-beli dan akad-akad lainnya. 
    • Akad lazim yang menjadi hal salah satu pihai, sepeerti rahn, orang yang menggadaikan sesuatu benda punya kebebasan kapan saja dia dapat melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
    • Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang menerima titipan atau orang yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
  • Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian:
    • Akad mu' awadhah yaitu yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual-beli.
    • Akad tabarru'at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah.
    • Akad yang tabarru'at pada awalnya dan menjadi akad mu'awadhah pada akhimya seperti qiradh dan kafalah. 
  • Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian: 
    • Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qiradh.
    • Akad amanah yang tanggung jawab kerusakan oleh pemilki benda, bukan oleh pihak yang memegang barang, seperti titipan (wadi'ah).
    • Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, dari segi yang lain meru­pakan amanah, seperti rahn (gadai).
  • Tujuan akad yaitu dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan: 
    • Bertujuan memiliki (tamlik), seperti jual-beli.
    • Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (per­kongsian) seperti syairkah dan mudharabah.
    • Bertujuan memperkokoh kepercayaan (tautsiq) saja, seperti rahn dan kafalah.
    • Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
  • Temporer (faur) dan berkesinambungan (istimrar), dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: 
    • Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksana­annya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksana­an akad hanya sebentar saja (temporer), seperti jual­beli. 
    • Akad istimrar disebut juga akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti 'ariyah. 
  • Ashliyah dan thabi'iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
    • Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa me­merlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual­ beli. 
    • Akad thabi'iyah yaitu akad yang membutuhkan ada­nya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada hutang. 

Akad dan Konsekuensi Hukumnya
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai rukun-rukun akad, dimana rukun-rukun akad tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan. Secara garis besar persyarat­an rukun akad dapat dikelompokkan menjadi empat macam: 
  1. Syarat in'iqad yaitu persyaratan yang berkenaan dengan berlangsung atau tidak berlangsungnya akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi keberadaan akad. Karena itu jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka akibatnya akad menjadi batal (gagal). Persyaratan yang termasuk kategori ini adalah persyaratan akad yang berifat umum berlaku pada setiap unsur akad (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya). Sedangkan sejumlah per­syaratan khusus berlaku pada akad-akad tertentu. Misalnya saksi dalam akad nikah dan serah terima dalam akad 'ainiyah (kebendaan) dan lain-Iain.
  2. Syarat shihah (sah) adalah syarat yang ditetapkan oleh syara' yang berkenaan dengan ada atau tidaknya akibat hukum. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akadnya menjadi rusak (fasad). Contoh persyaratan jenis ini, dalam hal jual-beli yang sangat populer dalam madhab Hanafi adalah keharusan terhindamya akad dari enam perkara yaitu jihalah (tidak transparan), ikrah, tauqit (batas waktu tertentu), dharar dan syarat fasid."
  3. Syarat nafadh adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara' berkenaan dengan belaku atau tidak berlakunya sebuah akad. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi akadnya menjadi mauquf (ditangguhkan). Syarat nafadh ada dua: Pertama, milik atau wilayah, artinya orang-orang yang me­lakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau dia mempunyai otoritas atas obyek akad. Kedua, obyek akad harus terbebas dari hak-hak pihak ketiga. 
  4. Syarat luzum yaitu persyaratan yang ditetapkan oleh syara' berkenaan dengan kepastian sebuah akad, karena akad sendiri adalah sebuah ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum dapat dipastikan berlakunya seperti masih ada unsur-unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghair luzum (tidak pasti), sebab masing-masing pihak masih mempunyai hak untuk tetap melangsungkan atau membatalkan akadnya. 

Berakhirnya Akad 
Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad  mauquf. 
  • Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-ha! yang menye­babkan timbulnya fasakhnya akad adalah sebagai berikut: 
    • Fasakh karena akadnya fasid (rusak), yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid, seperti akad pada bai' al-mu'aqqat atau bai' al-majhul. Maka akad harus difasakh oleh para pihak yang berakad atau oleh keputus­an hakim. 
    • Fasakh karena khiyar. Pihak yang mempunyai wewe­nang khiyar berhak melakukan fasakh terhadap akad jika menghendaki, kecuali dalam kasus khiyar 'aib setelah penyerahan barang.
    • Fasakh berdasarkan iqalah, yaitu terjadinya fasakh akad karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
    • Fasakh karena tidak ada realisasi. Fasakh ini hanya ter­jadi pada khiyar naqd, misalnya karena rusaknya obyek akad sebelum penyerahan. 
    • Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisasi . Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir, atau tujuan akad telah terealisasi, maka akad dengan sendirinya menjadi fasakh (ber­akhir). 
  • Berakhirnya akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Akad yang fasakh karena kematian adalah sebagai berikut: 
    • Akad dalam ijarah: Menurut Hanafiyah, kematian seseorang menyebab­kan berakhimya akad ijarah. Alasan mereka, karena ijarah merupakan akad kedua belah pihak, maka jika salah satu pihak meninggal dunia, dengan sendirinya akad akan berakhir. Namun jumhur berpendapat, bahwa kematian tidak dapat menyebabkan berakhir­nya akad.
    • Akad dalam rahn dan kafalah: Akad dalam dua transaksi ini merupakan akad yang lazim, karena itu jika pihak penggadai barang (rahin) meninggal dunia maka barang gadai harus segera dijual untuk melunasi hutang. Sedangkan dalam akad kafalah, apabila orang yang berhutang meninggal dunia tidak mengakibatkan berakhimya kafalah, tetapi jika ada hutang yang masih belum terbayar harus dilakukan perlunasan hutang atau tanggung jawabnya dilimpah­kan kepada pihak lain. 
    • Akad dalam syirkah dan wakalah Akad syirkah akan berakhir dengan kematian seseorang, jika anggotanya tidak lebih dari dua orang, namun apa­bila anggotanya lebih dari dua orang akad, maka akad syirkah akan tetap berlangsung bagi para anggota yang masih hidup. Hal ini juga berlaku bagi akad dalam wakalah. 
  • Berakhirnya akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai we­wenang tidak mengizinkannya atau meninggal dunia sebelum dia memberikan izin. 

Sumber Referensi:
  • Ibnu 'Abidin, Radd AL Mukhtar 'Ala Ad Dur Al Mukhtar, (Mesir, Al amriyah, tt)
  • Mustafa Ahmad Az Zarqa', Al Madkhal Al Fiqhi Al 'Am Al Islami Fi Tsaubihi Al Jadid (Beirut, Dar Al Fiqr, 1968)
  • Ad Dardir, Asy Syarh Al Kabir 'Ala Hasyiyyah Ad Dasuqi, (Beirut, Dar Al Fikr, tt)
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000).
  • Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986)
  • Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Teras, 2011)

29 Oktober 2024

Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS (RP2B) 2024 - 2027

 

Bismillah,

Industri BPR dan BPRS akan selalu dihadapkan pada tantangan, baik tantangan global dan domestik yang bersumber dari eksternal, maupun tantangan struktural yang bersumber dari internal BPR dan BPRS. Adopsi teknologi informasi di bidang keuangan yang semakin masif berdam​pak pada perubahan perilaku, ekspektasi, dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR dan BPRS. Selain itu, BPR dan BPRS juga menghadapi persaingan yang semakin ketat khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen mikro dan kecil, yang diiringi dengan potensi peningkatan risiko kredit atau pembiayaan.

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), BPR dan BPRS memperoleh ruang yang lebih luas untuk berkembang melalui penguatan kelembagaan, serta perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS. Meluasnya kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS tentunya tidak luput dari berbagai risiko yang menyertai. Untuk itu, BPR dan BPRS diharapkan memiliki struktur yang lebih kuat untuk mampu menyerap potensi risiko tersebut sehingga dapat memanfaatkan kesempatan dari UU P2SK agar lebih berkembang.

RP2B 2024-2027 memuat arah pengembangan dan penguatan struktural sebagai respon terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh industri BPR dan BPRS ke depan, baik dari sisi internal maupun eksternal industri BPR dan BPRS. Secara umum, RP2B terdiri atas 4 (empat) pilar utama, yaitu:

  1. Penguatan struktur dan daya saing,
  2. Akselerasi digitalisasi BPR dan BPRS,
  3. Penguatan peran BPR dan BPRS terhadap wilayahnya, dan
  4. Penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan.

Serta empat perangkat pendukung (enabler) yang terdiri dari:

  1. Kepemimpinan dan manajemen perubahan,
  2. Kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM),
  3. Infrastruktur Teknologi Informasi, dan
  4. Kolaborasi dan kerja sama sektoral/interdep.
RP2B sebagai peta jalan arah kebijakan bagi BPR dan BPRS memiliki fokus utama pada upaya untuk memperbaiki isu-isu fundamental pada BPR dan BPRS, sehingga industri BPR dan BPRS mampu memanfaatkan peluang sekaligus mengelola risiko dengan adanya perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Fokus utama tersebut dituangkan dalam quick wins kebijakan, yaitu melalui penguatan permodalan dan akselerasi konsolidasi bagi industri BPR dan BPRS, serta kemudian dilanjutkan dengan penguatan penerapan tata kelola yang baik untuk mendukung bisnis BPR dan BPRS yang berintegritas dan berkelanjutan.

RP2B 2024-2027 ini merupakan living document yang dapat terus disesuaikan dengan dinamika industri BPR dan BPRS serta ekosistem industri jasa keuangan, sehingga dapat direspon dengan kebijakan yang relevan dan tepat waktu dalam mendukung penguatan daya tahan dan daya saing industri BPR dan BPRS.

Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS (RP2B) 2024 - 2027 (Download)

Panduan Strategi Anti Fraud Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK)

Bismillah, 

Inovasi teknologi memiliki peran krusial d​alam membentuk masa depan sektor keuangan, yang semakin digital, terhubung, dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan dan pasar yang terus berkembang. ITSK dapat meningkatkan efisiensi, memperluas akses ke layanan keuangan, meningkatkan pengelolaan risiko, dan merespons perubahan pasar dengan lebih cepat.

Salah satu pendorong utama kesuksesan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan di Indonesia adalah pesatnya adopsi platform digital. Platform ini telah menyederhanakan transaksi seperti e-wallet, internet banking, dan QRIS, yang memfasilitasi peralihan dari aktivitas keuangan tradisional offline ke online.

Dengan banyaknya dan mudahnya mendapatkan akses teknologi sektor keuangan, OJK menilai dibutuhkannya sebuah kebijakan dalam rangka implementasi SAF khusus bagi Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). Dengan mempertimbangkan skala bisnis dan disparitas Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang tinggi, maka dinilai diperlukan penyesuaian-penyesuaian, upaya bertahap serta berkelanjutan, serta melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam penerapan SAF bagi Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan agar dapat menerapkan upaya pengendalian risiko fraud.

Panduan Strategi Anti Fraud Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (Download)

Pedoman Keamanan Siber Bagi Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK)

Bismillah, 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan Pedoman Keamanan Siber (Cybersecurity Guidelines) yang dirancang khusus untuk Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). 

Pedoman ini disusun dengan dukungan Kedutaan Besar Inggris (British Embassy) melalui UK Government cyber capacity-building programme. Pedoman ini mencakup strategi reaktif dan proaktif untuk memastikan keamanan siber menjadi bagian krusial dari ekosistem ITSK.

Pedoman keamanan siber bagi Penyelenggara ITSK mencakup perlindungan data, manajemen risiko, respons insiden, maturity assessment, training and awareness dengan mengedepankan prinsip kolaborasi dan pertukaran informasi. Dengan mengikuti pedoman ini, para pemangku kepentingan di organisasi ITSK dapat berkontribusi pada lingkungan keuangan digital yang lebih aman dan tangguh di Indonesia.

OJK mengharapkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan di sektor keuangan Indonesia agar penerapan kerangka kerja keamanan dan ketahanan siber di sektor ITSK dapat berjalan secara efektif. 

Pedoman Keamanan Siber Bagi Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (Download).

28 Oktober 2024

Mu'amalah Dan Fiqh Mu'amalah

 Pengertian Mu'amalah 

Mu'amalah adalah salah satu aspek dalam hukum Islam dengan cakupan yang luas. Secara umum, aspek hukum Islam yang tidak termasuk kategori ibadah (seperti shalat, puasa, dan haji) dapat disebut mu'amalah. Oleh karena itu, isu-isu terkait hukum perdata dan pidana biasanya termasuk dalam bidang mu'amalah. Seiring perkembangannya, hukum Islam dalam bidang mu'amalah terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu munakahat (hukum perkawinan), jinayat (hukum pidana), dan mu'amalah dalam arti khusus yang berfokus pada ekonomi dan bisnis dalam Islam.

Pengertian Fiqh Mu'amalah tersusun dari dua kata, yaitu kata fiqh dan mu'amalah. Arti kata Fiqh secara etimologi (bahasa) adalah al-fahmu (paham), sebagaimana arti yang dipahami dari hadits:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

"Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi­ Nya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama".

Menurut termologi, pada awalnya pengertian Fiqh men­cakup seluruh ajaran agama, baik dalam bidang akidah, akhlak ataupun ibadah sehingga identik dengan arti Syari'ah Islamiy­yah. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian Fiqh mengalami spesifikasi dan menjadi bagian dari Syari'ah Islamiyyah.  Secara umum para fuqaha mendefinisi­kan fiqh sebagai berikut: 

الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنَ الْأَدِلَّتِهَاَ التَّفْصِيلِيَّةِ

"Ilmu tentang hukum-hukum syari'ah amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci"

Sedangkan pengertian mu'amalah secara etimologi berasal dari bentuk masdar kata عاَمَلَ - يُعَامِلُ - مُعَامَلَةً sama dengan wazan فَاعَلَ - يُفَاعِلُ - مُفَاعَلَةً yang artinya saling bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan.

Adapun pengertian Fiqh Mu'amalah secara terminoogi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengertian Fiqh Mu'amalah dalam pengerti­an luas dan Fiqh Mu'amalah dalam pengertian sempit. Definisi Fiqh Mu'amalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut: 

  • Menurut Ad-Dimyati berpendapat bahwa Mu'amalah adalah: 

التَّحْصِيْلُ الدُّنْيَوِي لِيَكُوْنَ سَبَبًا لِلْأَخِرِ
        "(Kegiatan) untuk menghasilkan duniawi, supaya menjadi sukses dalam masalah ukhrawi"
  • Menurut Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa Mu'amalah ada­lah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
  • Mu'amalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Sedangkan pengertian Mu'amalah dalam pengertian sempit (spesifik) telah didefinisikan oleh para ulama, sebagai berikut: 

  • Menurut Hudhari Bek adalah: 

        الْمُعَامَلَاتُ جَمِيْعُ الْعُقُوْدِ الَّتِى بِهَا يَتَبَدَلُ مَنَافِعُهُمْ

          "Mu'amalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya" 

  • Menurut Idris Ahmad bahwa Mu'amalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan tentang manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperlan jasmaninya dengan cara yang paling baik." 
  • Menurut Rasyid Ridha bahwa mu'amalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqh mu'amalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.

Perbedaan pengertian mu'amalah dalam arti sempit dengan pengertiannya dalam arti luas adalah mengenai perbedaan dalam cakupannya. Pengertian mu'amalah dalam arti luas masih mencakup beberapa masalah misalnya dalam persoalan warits, padahal masalah warits dalam perkembangan selanjut­nya telah menjadi disiplin ilmu tersendiri yaitu masuk dalam pembahasan fiqh mawarits, karena itu fiqh mawarits ini tidak tercakup dalam arti sempit. Adapun letak per­samaan antara mu'amalah dalam arti luas dengan mu'amalah dalam mu'amalah dalam arti sempit adalah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manuisa dalam kaitannya dengan pengelolaan harta benda. 

Pembagian Fiqh Mu'amalah

Pembagian Fiqh Mu'amalah ini sangat berkaitan dengan pandangan fuqaha dalam memahami pengertian fiqh mu'ama­lah dalam arti luas atau arti sempit. Menurut Ibn 'Abidin, Fiqh Mu'amalah dibagi menjadi lima bagian:

  1. Mu'amalah Maliyah (Hukum Kebendaan)
  2. Munakahat (Hukum Perkawinan)
  3. Muhasanat (Hukum Acara)
  4. Amanat dan 'Ariyah (Pinjaman)
  5. Tirkah (Harta Peninggalan)

Sedangkan al-Fikri, dalam kitabnya Al Mu'amalah Al­ Madiyah Wa Al Adabiyah menyatakan bahwa Mu'amalah dibagi menjadi dua bagian: 

  • Al Mu'amalah Al Madiyah adalah Mu'amalah yang mengkaji objeknya, karena itu sebagian ulama ada yang berpen­dapat bahwa mu'amalah al madiyah adalah mu'amalah yang bersifat kebendaan, karena objek fiqh mu'amalah ada­lah benda yang halal, haram dan subhat untuk diperjual­-belikan, benda-benda yang memudharatkan dan benda-benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi lainnya. Dengan kata lain, al-mu'amalah al-madiyah adalah berupa aturan-aturan yang telah diterapkan oleh syara' dari segi objek benda. Karena itu aktifitas bisnis seorang muslim tidak hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan semata (keuntungan materil), tetapi praktek bisnis tersebut harus dilandasi oleh nilai-nilai sakral agama, dalam rangka untuk mendapatkan ridha Allah Swt. dengan cara dia harus senan­tiasa merujuk kepada peraturan-peraturan syara' dalam setiap melaksanakan aktifitas bisnisnya. 
  • Al-Mu'amalah al-Adabiyah adalah mu'amalah yang di­tinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban misalnya jujur, hasud, dengki dan dendam. Al Mu'amalah Al Adabiyah yang dimaksud adalah aturan­ aturan Allah yang wajib diikuti berkaitan dengan aktifitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Adabiyah ini berkisar dalam keridhaan antara kedua belah pihak saat melangsungkan akad, sehingga tidak boleh terjadi unsur dusta, menipu (manipulasi) di dalarnnya. 

Ruang Lingkup Fiqh Mu'amalah 
Sesuai dengan pembagian mu'amalah, maka ruang ling­kup fiqh mu'amalah juga dibagi menjadi dua:
  • Ruang Lingkup Mu'amalah Adabiyah
Ruang lingkup mu'amalah yan bersifat adabiyah adalah ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang terdapat kaitannya dengan pendistribusian harta dalam hidup bermasyarakat. 

  • Ruang Lingkup Mu'amalah Madiyah 
Adapun yang termasuk ruang lingkup pembahasan madiyah adalah masalah jual beli (al-bai' wa al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), perseroan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-a'riyah), barang titipan (al­ wadi'ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzara'ah), sewa menyewa tanah (al-mukhabarah), upah  (ujrah al-'amal), gugatan (syuf'ah), sayembara (al-ju'alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al­-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (as-sulhu) dan di­tambah dengan permasalahan kontemporer (al-mu'ashirah) seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan lain­-lain. 

Namun ada juga yang membagi ruang lingkup mu'amalah ke dalam tiga bagian yang meliputi pembahasan tentang al- mal (harta), al-huquq (hak-hak kebendaan) dan al-' aqad (hukum perikatan).


Fiqh Mu'amalah dan Sistem Ekonomi Islam 

Ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai penge­ tahuan tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang atau jasa serta mendistribusi­kannya untuk keperluan konsumsi. Dengan demikian objekkajian ekonomi adalah perilaku atau perbuatan manusia yang berkaitan dengan fungsi produksi, distribusi dan konsumsi.

Sedangkan pengertian fiqh mu'amalah secara umum juga tidak jauh beda dengan pengertian ekonomi. Karena tema bahas­an dalam fiqh mu'amalah juga menyangkut dalam masalah harta, perikatan dan teknis operasionalnya.

Agama, baik Islam maupun non-Islam, pada esensinya merupakan panduan (bimbingan moral) bagi perilaku manu­sia. Panduan moral tersebut secara garis besar bertumpu kepada ajaran akidah, syari'ah (aturan hukum) dan moral yang luhur (akhlaq al-karimah). Antara agama (Islam) dengan ekonomi terdapat ketersinggungan objek. Dalam hal ini Islam berperan sebagai panduan moral terhadap fungsi produksi, distribusi dan konsumsi. Bahkan fungsi kontrol ini tidak hanya terbatas dalam wilayah ekonomi saja, tetapi ia mencakup keseluruhan aspek dalam kehidupan.

Oleh sebab itu suatu perilaku ekonomi yang Islami secara normatif dapat dipahami sebagai sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan tuntunan ajaran Islam. Konstruks (ran­cang-bangun) ekonomi Islam adalah sebuah tatanan ekonomi yang dibangun di atas ajaran tauhid dan prinsip-prinsip moral Islam seperti keadilan, dibatasi oleh syari'at misalnya halal dan haram dan fiqh (hukum Islam yang bersifat furu'iyyah. Jadi, fiqh mu'amalah yang ruang lingkupnya meliputi hukum benda (al-mal wa al-milkiyah) dan hukum perikatan (al­ 'aqd) dalam konstruksi sistem ekonomi Islam hanya berperan sebagai instrumen teknis. Artinya ekonomi Islam pada satu sisi dibatasi oleh aturan-aturan teknis yang terdapat dalam fiqh mu'amalah. Namun ini bukan satu-satunya batasan, prinsip moral (nilai-nilai ideal) dan syari'at Islam lebih banyak berpeng­aruh terhadap sistem ekonomi Islam dibandingkan fiqh mu'amalah.

Pada sisi lain, perkembangan sistem ekonomi Islam yang dihasilkan dari kajian perilaku ekonomi masyarakat Muslim telah mendikte instrumen hukum teknis (fiqh mu'amalah). Se­kalipun antara keduanya (antara fiqh mu'amalah dan ekonomi Islam) saling terkait, namun sesungguhnya keduanya adalah dua hal yang berbeda.


Sumber Referensi:

  • Abdullah As Sattar Fatullah Sa'id, Al Muamalat Fi Al Islam, (Mekah, Rabithah Al Alam Al Islami, Idarah Al Kita Al Islami, tt)
  • A. W. Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1068.
  • Abdul Majid, Pokok-pokok Fiah Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986), 
  • Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiah (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.,).
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000).
  • Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986)
  • Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Teras, 2011)
  • Hariman Surya Siregar, Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2019)


24 Oktober 2024

Daftar Surat Edaran (Ta’limat) DSN-MUI

Fatwa DSN-MUI

No Judul File
1 Penggunaan Akad Hibah untuk Menanggulangi Defisit Underwriting Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud Download
2 Transfer Portofolio Dana Tabarru’ pada Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Syariah Download
3 Akad Hibah Mu’allaqah bi al-Syarth pada Produk Asuransi Syariah yang dikaitkan dengan Investasi Download
4 Akad Hibah Mu’allaqah bi al-Syarth dan Batasan Ujrah Pada Produk Asuransi Non-PAYDI (Produk Asuransi yang dikaitkan dengan Investasi) Download
5 Produk Asuransi Wakaf dan Produk yang Memiliki Fitur Wakaf Download
6 Prosedur Pengajuan Surat Permohonan Fatwa DSN-MUI atau Pernyataan Kesesuaian Syariah Download
7 Penerapan Prinsip Syariah dalam Penjaminan LKS Download
8 Penerapan Prinsip Syariah terkait Penerimaan dan Penyaluran Dana Bank Syariah Download
9 Pembiayaan Bank Syariah kepada Jasa Keuangan Konvensional Download

Daftar Pedoman Implementasi DSN-MUI

Fatwa DSN-MUI

No Judul File
1 Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqishah dalam Produk Pembiayaan Download
2 Pedoman Implementasi Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) atas Nilai Tukar Download
3 Pedoman Implementasi Sekuritisasi Berbentuk Efek Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah Download
4 Pedoman Implementasi Fatwa Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah Download

Daftar Pedoman Produk Perbankan Syariah

Qur'an Voice

No Judul File
1 Pedoman Produk Pembiayaan Murabahah Perbankan Syariah Download
2 Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah Perbankan Syariah Download
3 Pedoman Produk Pembiyaan Mudharabah Perbankan Syariah Download
4 Pedoman Implementasi Sharia Restricted Invesment Account (SRIA) Dengan Akad Mudharabah Muqayyadah Download
5 Pedoman Implementasi Cash Waqf Linked Deposit (CWLD) Download
6 Pedoman Kerja Sama Channeling Antara Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Syariah Dan LPBBTI Syariah (Fintech P2P Financing) Download
7 Pedoman Keamanan Siber Bagi Penyelenggara Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) Download
8 Pedoman Strategi Anti Fraud Download

Pedoman Implementasi Cash Waqf Linked Deposit (CWLD)

Bismillah, 

Transformasi perbankan syariah bertujuan meningkatkan daya tahan dan daya saing, sekaligus memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. Transformasi ini melibatkan penguatan karakter perbankan syariah yang tidak hanya berfokus pada tujuan bisnis, tetapi juga memperhatikan peran sosial dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. 

Perbankan syariah berperan dalam meningkatkan inklusi keuangan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk melalui instrumen sosial syariah seperti wakaf. Potensi wakaf uang di Indonesia diperkirakan mencapai Rp180 triliun per tahun, namun realisasi pengumpulan wakaf uang pada tahun 2023 hanya sebesar 2,2 triliun, atau sekitar 1,22% dari potensi tersebut. Untuk memperkecil gap ini, Bank Syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) perlu mengembangkan produk wakaf uang yang inovatif.

Salah satu inovasi yang sudah berjalan adalah Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), yang melibatkan Bank Syariah dalam menghimpun dana wakaf uang. Namun, produk ini hanya meningkatkan aset sementara, karena dana digunakan untuk pembelian Sukuk Wakaf Ritel (SWR).

Untuk mendukung pengembangan perbankan syariah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027, mengembangkan produk baru, yaitu Cash Waqf Linked Deposit (CWLD). CWLD adalah produk wakaf uang temporer yang memungkinkan wakif (pemberi wakaf) memilih penerima manfaat wakaf (Mauquf alaih), yang memberikan manfaat bagi industri perbankan syariah dan sektor wakaf.

OJK juga merancang pedoman implementasi CWLD untuk memudahkan Bank Syariah dan Nazhir dalam menjalankan produk ini dengan panduan teknis yang sistematis, sesuai masukan dari Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia.

Berikut Pedoman Implementasi Cash Waqf Linked Deposit (Download)

Pedoman Implementasi Sharia Restricted Invesment Account (SRIA) Dengan Akad Mudharabah Muqayyadah

Bismillah,

Perbankan syariah memiliki potensi untuk mengembangkan produk khas berbasis syariah, terutama dalam transaksi investasi, sebagai pembeda dari perbankan konvensional. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 (UU P2SK), yang membedakan produk investasi dan simpanan di perbankan syariah. 

Dalam UU P2SK, investasi didefinisikan sebagai dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah, di mana risiko ditanggung oleh nasabah investor. Sedangkan simpanan mencakup giro, tabungan, deposito, dan sertifikat deposito yang berbasis akad syariah dan tidak dapat dianggap sebagai produk investasi.

Dalam Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah 2023-2027 (RP3SI), OJK mendorong perbankan syariah untuk memperkenalkan produk Shariah Restricted Investment Account (SRIA), yaitu produk investasi berbasis akad mudharabah muqayyadah yang memungkinkan nasabah menentukan penggunaan dana yang diinvestasikan.

Untuk memastikan investasi syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, diperlukan pedoman yang jelas. Pedoman ini mengacu pada POJK Nomor 13/POJK.03/2021 dan SEOJK Nomor 10/SEOJK.03/2023, mencakup struktur produk, manajemen risiko, transparansi, serta mekanisme dan pembukuan SRIA.

Berikut Pedoman Implementasi Sharia Restricted Invesment Account (SRIA) Dengan Akad Mudharabah Muqayyadah (Download)

Pedoman Produk Pembiyaan Mudharabah Perbankan Syariah

Bismillah,

Produk pembiayaan mudarabah merupakan salah satu produk yang memiliki keunikan dan tidak terdapat dalam perbankan konvensional. Produk ini merupakan produk alternatif bagi industri perbankan syariah untuk diversifikasi produk pembiayaan yang berbasis bagi hasil selain dari pembiayaan musyarakah. 

Karakteristik pembiayaan mudarabah yang berbasis bagi hasil, berpotensi menjadi salah satu opsi untuk memberikan pembiayaan modal kerja di sektor produktif. Dengan demikian, produk pembiayaan mudarabah berpotensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi baik di sektor rill maupun di sektor keuangan.

Saat ini, jumlah portofolio pembiayaan mudarabah baru mencapai 2,12% dari total jumlah pembiayaan yang ada pada perbankan syariah berdasarkan akad (per Desember 2023). Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan pengembangan dan peningkatan implementasi produk pembiayaan mudarabah. Salah satu upaya tersebut adalah dengan penyusunan suatu pedoman untuk membantu industri perbankan syariah dalam memudahkan implementasi produk pembiayaan mudarabah dengan baik. 

Pedoman ini merupakan seri ke-3 dari seri Pedoman Produk Pembiayaan yang diterbitkan oleh OJK. Harapannya, pedoman ini dapat menjadi panduan bagi industri perbankan syariah untuk mengimplementasikan produk pembiayaan mudarabah.

Berikut Pedoman Produk Pembiyaan Mudharabah Perbankan Syariah (Download)

23 Oktober 2024

Pedoman Kerja Sama Channeling Antara Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Syariah Dan LPBBTI Syariah (Fintech P2P Financing)

Bismillah,

OJK telah menerbitkan Pedoman Kerja Sama Channeling antara BPRS dan Fintech P2P Financing Syariah untuk memperkuat penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko di BPRS dalam bekerja sama dengan penyedia layanan fintech peer-to-peer (P2P) berdasarkan prinsip syariah.

Pedoman ini bertujuan memberikan panduan bagi BPR Syariah, baik yang sudah maupun yang akan bekerja sama dengan Fintech P2P Syariah. Pedoman ini menyajikan informasi lengkap yang dibutuhkan, khususnya terkait skema kerja sama pembiayaan sesuai dengan jenis akad syariah. Disusun berdasarkan prinsip utama (principal-based), pedoman ini fleksibel dan mampu menyesuaikan dengan dinamika industri yang membutuhkan kebijakan tepat dan relevan.

Dalam pedoman kerjasama ini berisi terdiri:
  1. Para Pihak Kerja Sama Channeling
  2. Pengertian dan Ruang Lingkup Kerja Sama Channeling

Berikut Pedoman Kerja Sama Channeling antara BPRS dan Fintech P2P Financing (Download).

Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah Perbankan Syariah

Bismillah,

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memperkuat produk perbankan syariah dan prinsip kehati-hatian serta manajemen risiko Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) dengan menerbitkan Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah. Pedoman ini adalah edisi kedua setelah Pedoman Pembiayaan Murabahah dan merupakan pembaruan dari standar yang diterbitkan OJK pada 2016. Dalam edisi terbaru ini, terdapat penambahan serta penyesuaian dengan aturan terkini, termasuk Peraturan OJK (POJK) dan Fatwa DSN-MUI.

Sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), OJK mendorong inovasi dan diversifikasi produk perbankan syariah agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu bersaing di pasar. Melalui Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027, OJK berupaya mengembangkan produk syariah yang inovatif, kompetitif, dan memiliki keunikan yang menjadi keunggulan dibanding perbankan konvensional.

Berikut Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah Perbankan Syariah (Download)

Pedoman Produk Pembiayaan Murabahah Perbankan Syariah

Bismillah,

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memberikan peluang bagi perbankan syariah untuk mengembangkan bisnis dengan pendekatan yang berbeda dari bank konvensional, namun tetap mempertahankan ciri khas dan prinsip syariah.

Dalam upaya memperkuat industri perbankan syariah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) sebagai otoritas penerbitan fatwa keuangan syariah, terus mendorong penerapan aspek syariah yang lebih kuat. Salah satu langkah penting adalah penerbitan fatwa yang menjadi acuan dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah. Pada tahun 2022, DSN-MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 153/DSN-MUI/VI/2022 tentang Pelunasan Utang Pembiayaan Murabahah Sebelum Jatuh Tempo, yang membawa perubahan dalam tata cara pelunasan pembiayaan murabahah.

Terkait hal ini, untuk memberikan pedoman bagi industri perbankan syariah dan para pengawas, telah disusun Pedoman Produk Pembiayaan Murabahah yang menggantikan Standar Produk Murabahah yang diterbitkan pada tahun 2015.

Pedoman ini terdiri dari tiga bagian utama: 

  1. Pendahuluan : Membahas latar belakang penyusunan pedoman.
  2. Prinsip Syariah Pembiayaan Murabahah: Menguraikan ketentuan umum, para pihak yang terlibat, obyek, ijab kabul, dan aturan terkait pembiayaan murabahah.
  3. Skema Pembiayaan Murabahah: Menawarkan berbagai skema pembiayaan yang dapat digunakan oleh bank syariah. Selain itu, pedoman ini juga dilengkapi lampiran yang berisi contoh simulasi pelunasan pembiayaan murabahah dan contoh pembukuan.

Dengan adanya pedoman ini, diharapkan dapat menjadi panduan yang jelas bagi pelaku industri perbankan syariah di Indonesia dalam menjalankan akad pembiayaan murabahah, serta meningkatkan pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya tentang produk pembiayaan murabahah di perbankan syariah.


Berikut Terlampir Pedoman Produk Pembiayaan Murabahah Perbankan Syariah (Download)

22 Oktober 2024

“Pinjaman" Satu Kata Dua Makna Dan Konsekuensi Berbeda!!

Ada sebuah anggapan bahwa meminjam suatu barang untuk digunakan yang disertai adanya syarat pengembalian dengan adanya manfaat adalah riba misalnya seseorang meminjam motor dalam kondisi bensin tinggal sedikit (tidak penuh), kemudian pemilik motor mensyaratkan agar saat dikembalikan, bahan bakar (bensin) motornya harus dalam keadaan terisi penuh. Apakah bensin itu termasuk riba karena ada tambahan manfaat yang diterima oleh pemilik motor atas pinjaman?

Di samping itu, kita juga sering meminjam sebuah barang, misalnya Pulpen kepada teman. Pulpen yang kita pinjam tentu yang digunakan adalah isinya (tinta). Sehingga tinta itu berkurang atau bahkan bisa habis pakai. Benarkah penggunaan ungkapan kata “meminjam” atau seharusnya “meminta” dan bagaimana hukumnya secara syariah?

____________

Begini kawan!!

Dalam praktik sehari-hari, Penggunaan istilah kata “Pinjam”, biasa digunakan untuk kegiatan “hutang-piutang” dan menggunakan “manfaat suatu barang”. Satu kata yang sama namun dalam perspektif syariat Islam, keduanya memiliki akad, makna dan konsekuensi hukum yang berbeda. Perbedaan ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengambil sebuah konklusi atau keputusan hukum.

Hutang-piutang dalam istilah syariat disebut Qardh yakni akad hutang piutang antara Muqridh (Pihak Pemberi Hutang) dengan Muqtaridh (Pihak Yang Berhutang) dimana Muqtaridh wajib mengembalikan sejumlah (sama) dengan yang dipinjamnya sesuai dengan waktu yang disepakati. Misalnya Si A meminjam uang sebesar Rp. 100 ribu kepada Si B, Maka Si A wajib mengembalikan sejumlah Rp. 100 ribu sesuai waktu yang ditentukan tanpa adanya tambahan/manfaat yang dipersyarakan/diperjanjikan. Jika ada tambahan yang dijanjikan maka termasuk riba. Ini kaitanya dengan hutang piutang. Dan dalam hal ini, terjadi perpindahan kepemilikan, maka si A boleh mentashorrufkan uang 100 ribu hasil pinjamannya untuk apa pun, baik dibelanjakan, diinvestasikan, bahkan dipinjamkan Kembali kepada pihak lain.

Sementara, peminjaman barang dengan izin kebolehan untuk menggunakan (manfaat)nya dalam syariah disebut I’arah atau Ariyyah. Misalnya, jika seseorang meminjamkan sepeda motor kepada temannya, itu berarti temannya diizinkan untuk menggunakan sepeda motor tersebut. Namun, sepeda motor itu tetap milik si pemilik, jadi tidak boleh ditashorrfukan (djual, disewakan, digadaikan atau dipinjamkan) oleh orang yang meminjam tanpa izin si pemilik barang.

Lantas bagaimana jika dalam akad I’arah, pihak pemilik barang mensyaratkan adanya manfaat seperti mensyaratkan si peminjam motor untuk mengisi bensin full ketika mengembalikan barang padahal pada saat dipinjam bensinnya tinggal sedikit?

Adanya manfaat sebagai kompensasi (iwadh) dalam akad i’arah adalah diperkenankan, misalnya seperti mengisi bensin secara penuh (full) ketika mengembalikan, maka sejatinya akad yang dilangsungkan adalah Ijarah (Sewa Menyewa) dengan “ujrah” yang diberikan berupa bensin. Bukan lagi I’arah, karena prinsip I’arah itu penggunaan secara Cuma-Cuma:

الْعَارِيَةُ هِيَى تَمْلِيْكُ الْمَناَفِعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ

“Ariyah adalah pengalihan kepemilikan manfaat tanpa pengganti (kompensasi)”.

Adapun terkait dengan penggunaan kata pinjam dalam I’arah tidak masalah karena sudah menjadi tradisi (‘urf) namun dapat dipahami bahwa meminjam di sini adalah penggunaan atas manfaat barang bukan berpidahnya kepemilikan suatu barang. Karena yang dilihat dalam suatu transaksi adalah tujuan dan maknanya, bukan dari rangkaian kalimat. Hal ini sebagaimana kaidah Fiqh

العِبْرَةُ فِي العُقُودِ لِلمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي، لَا لِلْأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي

“Yang menjadi acuan dalam akad adalah tujuan dan maknanya, bukan lafaz dan bentuk (rangkaian kata)."

Dari sini kita dapat membedakan antara Pinjaman dengan makna utang-piutang atau Qardh (قرض), dengan meminjam suatu barang untuk dimanfaatkan yakni ‘Iarah (إعارة) atau Ariyatun (عارية).

Belum lama ini DSN-MUI telah mengeluarkan 4 Fatwa terbaru salah satunya akad I’arah atau ‘Ariyyah.


Mari sama-sama kita bahas!!

Pengertian ‘Ariyyah.

Para ulama memberikan beberapa definisi tentang I’arah atau ‘Ariyyah diantaranya:

a.    Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah

الْعَارِيَةُ هِيَى تَمْلِيْكُ الْمَناَفِعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ

“Ariyah adalah pengalihan kepemilikan manfaat tanpa pengganti (kompensasi)”. (Abu Al Husain Al Quduri Al Hanafi, Mukhtasah Al Quduri, Daar Al Qutub Al Ilmiyyah, Cet 1, Hal 133)

الْعَارِيَةُ هِيَى تَمْلِيْكُ الْمَناَفِعِ الْعَيْنِ بِغَيْرِ عِوَضٍ

“Ariyah adalah pengalihan kepemilikan manfaat barang tanpa pengganti (kompensasi)”. (Al Qadhi Abdul Wahhab Al Baghdadi, Al Maunah ‘Ala Mazhab ‘Alim Al Madinah, Al Maktabah Al Tijariyyah Mushtafa Ahmad Al Baz, Mekkah, Jil.2, Hal 1208)

وَ هِيَى مَصْدَرًا تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مُؤَقَّتَةٍ لاَ بِعِوَضٍ

“Ariyah – Dalam bentuk Mashdar- adalah pengalihan kepemilikan manfaat untk sementara tanpa pengganti (kompensasi)”. (Ibnu ‘Arafah Al Maliki, Al Mukhtashar Al Fiqhi Mu’assasah Al Khalaf Ahmad AL Habtur, Jil.7, Hal.227)

 

b.   Ulama Syari’i dan Hambali

الْعَارِيَةُ إِبَاحَةُ الْإِنْتِفَاعِ بِعَيْنٍ مِنَ الْأَعْيَانِ

“Ariyah adalah pemberian izin pemanfaatan barang”. (Al ‘Imroni Al Syafi’i, Al Bayan Al Madzahib Al Syafi’i, Dar Al Minhaj, Jeddah, Jil. 6, Hal. 227).

وَحَقِيْقَتُهَا شَرْعًا إِبَاحَةُ اْلإِنْتِفَاعِ (بِمَا يَحِلُّ اْلإِنْتِفَاعُ) بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ لِرَدِّهَا عَلَيْهِ

“Berdasarkan terminoogi syara’, hakikat ‘Ariyah adalah pemberian izin pemanfaatan (sesuatu yang halal untuk dimanfaatkan) dengan tidak merusak/mengubah substansinya untuk dikembalikan kepada pemiliknya”.(Ibn Al Rif’ah, Kifayah Al Nabih Fi Syarh Al Tanbih, Dar al Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2009, Jil. 10, Hal. 356)


c.    Fatwa DSN MUI Nomor 158 Tentang ‘Ariyah

Akad I'arah atau 'Ariyyah adalah akad pemberian izin pemanfaatan (ibahah) atau pengalihan hak manfaat (tamlik) Mu'ar antara Mu'ir dan Musta'ir dalam jangka waktu tertentu atau pemanfaatan tertentu tanpa imbalan dan Mu'ar dikembalikan kepada Mu'ir sesuai kesepakatan (Fatwa DSN-MUI Nomor 158).

 Landasan akad I’arah atau ‘Ariyyah  

a.    Firman Allah Swt dalam surat Al Maidah ayat 2 yang berbunyi:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalom (mengerjakan) kebaiikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat doso dan permusuhan”.

 

b.   Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

·      Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Barang siapa memudahkan kesulitan orang lain, Allah akan mudahkan ia di hari Kiamat.” (HR. Muslim no. 2699)

·      Dari Shafwan bin Umayyah:

اَنَّ رَسُوْلَ اللهَ اِسْتَعَارَ مِنْهُ اَدْرَاعًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ أَغَضْبٌ يَا مُحَمَّدٌ؟ فَقَالَ لاَ بَلْ عَاريَةٌ مَضْمُوْنَةٌ

“Nabi pernah meminjam beberapa perisai kepada Shafwan Bin Ummayyah, dan Shafwan berkata kepada Nabi s.o.w., 'Apakah ini sebagai harta rampasan, wahai Muhammad?' Nabi s.a.w. menjawab, 'Bukan! Ini adalah pinjaman yang diiamin pengembaliannya”.

·      Dari Amr bin Kharijah radhiyallahu 'anhu berkata, aku mendengar Nabi bersabda: 

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ، وَالْمَرْأَةُ لَا تُنْفِقُ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا 

فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا 

ثُمَّ قَالَ: العَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ، وَالمَنِيحَةُ مَرْدُودَةٌ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ، وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ

(رواه الترمذي)

"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak, haknya. Maka, tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris. Seorang istri tidak boleh memberikan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” 

Lalu seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah (termasuk) makanan?" Beliau menjawab, "(Justru) itu adalah harta terbaik kita."

Kemudian beliau bersabda: "Barang Pinjaman (ariyyah) harus dikembalikan. Minhah (harta yang dipinjamkan dengan mengambil hasilnya) harus dikembalikan. Utang harus dibayar, dan penjamin bertanggung jawab atas utang yang dijamin."  (HR. Tirmidzi).

 Perbedaan ‘Iarah dan Qardh

Pertama, Dalam akad Qardh terjadi perpindahan kepemilikan atas harta ketika dipinjam dan diserahkan. Misalnya, Si A meminjam uang (Qardh) si B Rp. 1 juta rupiah, maka pada saat itu terjadi perpindahan kepemilikan. Si A boleh mentashorrufkan uang tersebut, baik dibelanjakan, diinvestasikan, dishodaqahkan, dipinjamkan kembali dan seterusnya karena uang tersebut sejatinya telah beralih kepemilikannya kepada A.

Sementara I’arah tidak terjadi perpindahan kepemilikan namun membolehkan untuk memanfaatkan barang tersebut. Misalnya, Ketika Si A meminjam mobil milik Si B. Maka Si B membolehkan Si A untuk memakai mobilnya, namun mobilnya tidak boleh dijual, disewakan, digadaikan atau diganti dengan mobil yang lain. Karena hak dari Si A adalah hanya memanfaatkan barang tersebut.

Kedua, akad Qardh status harta sifatnya adalah tanggungan (utang-piutang). Pihak peminjam wajib mengembalikan sejumlah atau setara dengan harta yang dipinjamnya. Misalnya Si A meminjam Uang kepada Si B Rp. 1 juta maka ketika telah diserahkan Si A memiliki kewajiban mengembalikan sejumlah Rp. 1 juta kepada B sesuai dengan waktu yang disepakati bahkan jika uang itu hilang sebelum digunakan.

Sementara dalam akad ‘Ariyah, pihak peminjam tidak berkewajiban menanggung (mengganti) jika terjadi risiko sepanjang dia tidak berkhianat, sebagaimana hadits Nabi Saw:

لَيسَ عَلَى الْمُسْتَعِيْرِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ

“Tidak ada tanggung jawab (penggantian) atas peminjam (musta’ir) yang tidak berkhianat (lalai/taqshir).

Namun dalam Fatwa DSN Nomor 158/DSN-MUI/VII/2024 tentang Akad I’arah, bagian Ketujuh Ketentuan Ganti RuGi dinyatakan bahwa Musta’ir (Pihak yang meminjam)  wajib melakukan ganti rugi jika Mu'ar  (barang yang dipinjam) hilang dan/atau rusak, baik karena tindakannya yang termasuk tindakan khianat (lalai, melampaui batas, dan/atau menyalahi kesepakatan atau kebiasaan baik yang berlaku) maupun tidak;

Dalam hal ini, jelas bahwa Fatwa menjaga kemaslahatan para pihak, terutama hak pihak Mu’ir (Pihak yang meminjamkan) atas barang yang dipinjamkannya agar barang yang dipinjamkan tetap aman, terjaga, tidak rusak ataupun hilang, maka jika hilang wajib ada penggantian sesuai harga barang pada saat rusak. Sehingga pihak Musta’ir memiliki tanggungjawab untuk melakukan itu. Olehkarenanya Fatwa DSN-MUI juga memberikan batasan dan ketentuan bagi pihak Musta’ir harus cakap hukum, memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan/atau mengambil manfaat Mu'ar menurut ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan dan memiliki itikad baik untuk memelihara, menjaga, serta memanfaatkan Muar  sesuai dengan kesepakatan, kebiasaan baik ('urf), dan/atau peraturanperundang-undangan;

 

Berikut beberapa ketentuan dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 158/DSN-MUI/VII/2024 tentang Akad I’arah:

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan:

  1. Akad I'arah atau 'Ariyyah adalah akad pemberian izin pemanfaatan (ibahah) atau pengalihan hak manfaat (tamlik) Mu'ar antara Mu'ir dan Musta'ir dalam jangka waktu tertentu atau pemanfaatan tertentu tanpa imbalan dan Mu'ar dikembalikan kepada Mu'ir sesuai kesepakatan;
  2. Mu'ar adalah obyek Akad I'arah;
  3. Mu'ir adalah pihak yang meminjamkan Mu'ar;
  4. Musta'ir adalahpihak yang meminjam Mu'ar;
  5. Manfaat adalah kegunaan Mu'ar baik yang bersifat abstrak (manfa'ah 'aradhiyyah) maupun yang bersifat konkret (manfa'ah madiyah);
  6. Akad I'arah Muthlaqah adalah akad I'arah yang tidak dibatasi cara memanfaatkan Mu'ar dan tidak ditentukan waktu pengembaliannya;
  7. Akad I'arah Muqayyadah adalah akad I'arah yang dibatasi cara memanfaatkan Mu'ar dan/ atau waktu pengembaliannya;
  8. Akad Lazim adalah akad yang sah dan bersifat nafidz (efektif) yang tidak dapat diakhiri secara sepihak, tapi hanya dapat diakhiri berdasarkan kesepakatan;
  9. Akad Ja'iz adalah akad yang sah dan bersifat nafidz (efektif) yang dapat diakhiri secara sepihak, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lain;
  10. Dharar adalah tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian pihak lain.

Kedua: Ketentuan Hukum

Akad I'arah boleh dilakukan selama terpenuhi rukun dan syaratnya sebagaimana ketentuan dalam fatwa ini.

Ketiga: Ketentuan Terkait Shigat Al ‘Aqd

  1. Akad I'arah harus dinyatakan secara tegas dan jelas serta dimengerti oleh Mu'ir dan Musta'ir;
  2. Akad I'arah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan perbuatan/tindakan, serta dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Akad I 'arah yang dilakukan Mu'ir dan Musta'ir bersifat kontraktual; baik I'arah yang bersifat tamlik maupun I'arah yang bersifat ibahah.

Keempat: Ketentuan Terkait Mu’ir

  1. Mu'ir boleh berupa orang atau yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  2. Mu'ir wajib cakap hukum (ahliyah) menurut syariah dan peraturan perundang-undangan;
  3. Mu'ir wajib memiliki kewenangan (wilayah) untuk melakukan akad I'arah baik kewenangan yang bersifat ashliyyah (termasuk dalam posisi sebagai Musta’jir dalam akad ljarah), maupun kewenangan yang bersifat niyabiyyah;
  4. Mu'ir wajib menyerahkan Mu'ar kepada Musta'ir pada waktu yang disepakati dan berhak menerima Mu'ar padawaktu yang disepakati;

 Kelima: Ketentuan Terkait Musta’ir

  1. Musta'ir boleh berupa orang atau yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  2. Musta'ir wajib cakap hukum (ahliyyah) menurut syariah dan peraturan perundang-undangan;
  3. Musta'ir wajib memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan/atau mengambil manfaat Mu'ar menurut ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan;
  4. Musta'ir wajib memiliki itikad baik untuk memelihara, menjaga, dan memanfaatkan Muar sesuai dengan kesepakatan, kebiasaan baik ('urf), dan/atau peraturanperundang-undangan;
  5. Musta'ir dilarang melakukan perbuatan khianat, termasuk perbuatan yang dapat mengakibatkan Mu'ar rusak dan/atau hilang;
  6. Musta'ir wajib mengembalikan Mu'ar kepada Mu'ir pada waktu yang disepakati dan/atau manfaat Mu'ar telah tercapai.

Keenam: Ketentuan Terkait Mu’ar

  1. Mu'ar harus harta yang dapat diambil manfaatnya oleh Musta'ir dan tidak habis atau musnah karena pemakaian/tetap fisiknya (baqa' al-ain);
  2. Manfaat Mu'ar harus manfaat mubahah (manfaat yang dibolehkan secara syariah dan perafuran perundang-undangan).

 Ketujuh: Ketentuan Terkait Ganti Rugi

  1. Musta'ir wajib melakukan ganti rugi jika Mu'ar hilang dan/atau rusak, baik karena tindakannya yang termasuk tindakan khianat (lalai, melampaui batas, dan/atau menyalahi kesepakatan atau kebiasaan baik yang berlaku) maupun tidak;
  2. Besaran ganti rugi harus senilai Mu'ar pada saat hilang atau rusak;
  3. Mu'ir berhak menerima ganti rugi atas hilang dan/atau rusaknya Mu'ar yang terjadi karena Musta'ir lalai, melampaui batas, dan/atau menyalahi kesepakatan.

Kedelapan: Ketentuan Terkait Pengakiran Akad

  1. Akad I'arah dapat diakhiri oleh Mu'ir dan/atau Musta'ir kapan saja (karena Akad I'arah termasuk akad Ja'iz, bukan akad Lazim);
  2. Akad I'arah berakhir jika Mu'ir dan/atau Musta'ir tidak cakap hukum, diantaranya karena wafat, dungu (safah) atan gila;
  3. Dalam pengakhiran Akad I'arah tidak boleh ada pihak yang dirugikan;
  4. Dalam hal pengakhiran Akad I'arah terdapat pihak yang dirugikan (misalnya Musta'ir belum menerima manfaat dari Mu'ar sementara Musta'ir sudah mengeluarkan biaya), maka pihak yang dirugikan boleh meminta ganti rugi kepada pihak yang mengakhiri.

Kesembilan: Ketentuan Penutup

  1. Penyelesaian sengketa wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan:
    • melalui musyawarah mufakat,
    • melalui lembaga penyeles aian sengketa, antara lain melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (BASYARNAS-MUI) atau Pengadilan Agama apabila musyawarah mufakat tidak tercapai.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan akan disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.


Demikian, agar tulisan yang sedikit ini bisa lebih bermanfaat, anda dapat menyebarluaskan!!


Wallahua’lamu Bish Showab



Akad - Akad Dengan Prinsip Sewa Menyewa

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Sewa Menyewa yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah. ...