07 November 2024

Akad Jual Beli (Al Bai')

Pengertian Jual Beli (Al Bai')

Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti al­ mubadalah (saling menukar). Adapun pengertian jual beli secara istilah, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam definisi­ definisi berikut ini:

Pengertian jual beli menurut Sayyiq Sabiq adalah: 

مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى سَبِيلِ التَّرَاضِي أَوْ نَقْلُ مِلْكٍ بِعِوَضٍ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ

"Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling meridhai atau memindahkan hak milik disertai penggantinya dengan cara yang dibolehkan".

 Pengertian jual beli menurut Taqiyuddin adalah:

 مُبَادَلَةُ مَالٍ قَابِلٍ لِلتَّصَرُّفِ بِإِيجَابٍ وَقَبُولٍ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ 

"Saling menukar harta (barang) oleh dua orang untuk dikelola (ditasharafkan) dengan cara ijab dan qabul sesuai dengan syara."

 Pengertian jual beli menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah: 

 مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عِلَى وَجْهِ مَخْصُوْصٍ

"Saling tukar menukar harta dengan cara tertentu."

Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami inti jual beli adalah suatu petjanjian tukar-menukar benda (barang) yang mempunyai nilai, atas dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai dengan petjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara'.

Yang dimaksud dengan ketentuan syara' adalah jual beli tersebut dilakukan sesuai dengan persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Maka jika syarat-syarat dan rukunn ya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'.

Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai yakni benda-benda yang berharga dan' dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara'.  

Menurut pandangan fuqaha Malikiyah, jual beli dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu jual beli yang ber­sifat umum dan jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Artinya sesuatu yang bukan manfaat ialah benda yang ditukarkan adalah berupa dzat (berbentuk) dan ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang mempuyai kriteri antara lain, bukan kemanfaat­an dan bukan pula kelezatan, yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisissr dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang tersebut ada di hadapan si pembeli maupun tidak dan barang tersebut telah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.

Dasar Hukum Jual Beli 

Transaksi jual beli merupakan aktifitas yang dibolehkan dalam Islam, baik disebutkan dalam al-Qur'an, al-Hadits mau­pun ijma' ulama. Adapun dasar hukum jual-beli adalah: 

  • Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا...

"...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" 

  •  Dalam surat an-Nisa' ayat 29. 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan periagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu".

  • Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari  hadits Rasulallah Saw. adalah sebagaimana sabdanya: 

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ 

"Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan"

Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai keboleh­an akad jual beli. Ijma' ini memberikan hikmah bahwa kebutuh­an manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam ke­pemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya . Sehingga dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.


Rukun Jual Beli 

Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan mengenai rukun jual beli. Menurut fuqaha kalangan Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul." Sedangkan menurut jumur ulama, rukun jual beli terdiri dari akad (ijab dan qabul), 'aqid (penjual dan pembeli), ma'qud alaih (objek akad).

Akad adalah kesepakatan (ikatan) antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Akad ini dapat dikatakan sebagai inti dari proses berlangsungnya jual beli, karena tanpa adanya akad tersebut, jual beli belum dikatakan syah. Di samping itu akad ini dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan (keridhaan) antara dua belah pihak. Kerelaan memang tidak dapat dilihat, karena ia berhubungan dengan hati (batin) manusia, namun indikasi adanya kerelaan tersebut dapat dilihat dengan adanya ijab dan qabul antara dua belah pihak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَتَفَرَّقَنِ اثْنَانِ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ

"Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw. bersabda: Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah , sebelum mereka saling meridhai".

Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi dalam Rukun Jual Beli 

Ulama mazhab telah berbeda pendapat dalam menentu­kan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam rukun jual beli, baik dalam akad, 'aqid, ataupun dalam ma'qud 'alaih. Ada­ pun pendapat-pendapat mereka akan diuraikan berikut ini: 

Syarat-syarat Shigat (ijab dan qabul)
 
Ijab dari segi bahasa berbarti "pewajiban atau per­kenaan", sedangkan qabul berarti "penerimaan". Ijab dalam jual beli dapat dilakukan oleh pembeli atau penjual sebagai­mana kabul juga dapat dilakukan oleh penjual atau pem­beli. Ucapan atau tindakan yang lahir pertama kali dari salah satu yang berakad disebut ijab, kemudian ucapan atau tindakan yang lahir sesudahya disebut qabul." 

Menurut ulama Hanfiyah, terlaksananya ijab kabul tidak harus diekspresikan lewat ucapan (perkataan) tertentu, sebab dalam hukum perikatan yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang dihasilkannya. Ukuran ijab dan qabul adalah kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi dan adanya tindakan, memberi tindakan mem­beri atau menerima atau indikasi dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan dalam memindahkan kepemilik­an. Kata bi'tu (saya menjual), malaktu (saya memiliki), isytaraitu (saya beli) dan akhadtu (saya ambil) merupakan contoh lafadh akad jual beli yang jelas menunjukkan kerela­an." Adapun menurut ulama Syafi'iyah bahwajual beli tidak sah kecuali dilakukan dengan sighah yang berupa ucapan tertentu atau cara lain yang dapat menggantikan ucapan, seperti jual beli dengan tulisan, utusan orang atau dengan isyarat tunawicara yang dapat dimengerti (dipahami maksudnya). 

Ijab qabul dengan tulisan (surat dianggap sah jika kedua belah pihak yang berakad berada di tempat yang saling ber­jauhan satu sama lain atau pihak yang berakad tidak dapat berbicara. Akan tetapi apabila penjual dan pembeli berada dalam satu majelis akad dan tidak ada halangan untuk me­lakukan akad dengan ucapan, maka akad tersebut tidak sah jika tidak dipenuhi dengan syarat transaksi jual beli selain dengan kata-kata.

Syarat lain untuk syahnya ijab dan qabul, menurut pendapat ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, adalah adanya kesinam­bungan antara keduanya dalam satu majelis akad tanpa ada pemisah yang dapat merusak akad. Sementara itu ulama Malikiyah berpendapat bahwa keterpisahan antara ijab dan qabul tidak akan merusak akad jual beli selama hal ter­sebut terjadi menurut kebiasaan. 

Kemudian syarat lain yang harus dipenuhi dalam ijab qabul adalah adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul ter­hadap harga barang yang diperjualbelikan. Apabila tidak ada kesesuaian harga, berarti tidak ada kesesuaian antara ijab dengan qabul. Misalnya penjual berkata, "saya men­jual baju ini dengan harga Rp 50.000,-", kemudian pembeli menjawab, "saya beli baju ini dengan harga Rp. 40.000,-. Proses ijab qabul tersebut menggambarkan jual beli yang tidak sah, karena tidak adanya kesesuaian harga yang di­sepakati, kecuali apabila si penjual menerima penawaran harga si pembeli dengan harga Rp. 40.000,- tersebut.  

Syarat-syarat Aqid (Penjual dan Pembeli) 
Penjual dan pembeli biasa digolongkan sebagai orang yang berakad. Persyaratan yang harus dipenuhi penjual sama dengan persyaratan yang harus dipenuhi pembeli. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah sebagai berikut: 
  • Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum Islam dikenal istilah baligh ( dewasa) dan berakal sehat. Berdasarkan syarat ini maka jual beli di bawah umur dan orang tidak berpikiran sehat, menurut jumhur ulama, dianggap tidak sah. Adapun menurut madzab Hanafi, baligh tidak menjadi syarat sah jual beli. Karena itu anak di bawah umur tetapi dia sudah mumayyiz (anak yang dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk) dapat melakukan akad jual bell, selama jual beli tersebut tidak memudharatkan dirinya dan men­dapatkan izin atau persetujuan dari walinya.
  • Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri. Karena itu apabila akad jual beli dilakukan karena ter­paksa baik secara fisik atau mental, maka menurut jum­hur ulama, jual beli tersebut tidak sah. Hal tersebut sesuai firman Allah: 

 إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"...kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka" (QS. An-Nisa : 29).

Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah Saw;

 إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

"Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan" 

Adapun Abdurrahman al-Jaziri mengutip secara terperinci tentang pandangan empat madzab dalam masalah pemaksa­an dalam jual beli ini.

Pertama, menurut ulama madhab Hambali menyatakan bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad tidak boleh di­paksa baik secara lahir maupun batin. Apabila keduanya hanya sepakat secara lahiriyah maka jual beli tersebut batal demi hukum. Misalnya, kedua belah pihak sepakat melakukan jual beli atas suatu barang dengan segera, karena khawatir atas orang lalim yang akan merampas barang tersebut. Sehingga seseorang men­jual barangnya hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan (me­lindunginya) dari kejahatan orang lain. Apabila kondisi sudah kembali aman, maka penjual (sebagai pemilik barang) mem­peroleh kembali barangnya dari pembeli dan mengembalikan kembali harga barang (uang) kepada si pembeli. Dalam kasus semacam ini, secara lahiriyah mereka me­mang sepakat melakukan jual beli, tetapi secara bathiniyah se­benarnya mereka tidak ingin melakukan jual beli seperti itu. Jual beli dengan melalui proses sernacarn ini dinamakan bai'ah at-talji'ah wa al-aman (jual beli untuk melindungi dan meng­amankan barang). Tetapi apabila seseorang menjual barang untuk menghindari kelaliman orang lain tanpa didasari kesepakatan dengan pembeli (jual bell ini merupakan talji'ah/per­lindungan baginya), maka hukum jual beli tersebut menurut madhhab Hambali adalah sah karena prosesnya terjadi tanpa paksaan. Namun menurut madhhab ini, putusan seorang hakim kepada seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutang-hutangya tidak dinamakan jual bell paksaan, karena paksaan dalam kasus ini terjadi sebab adanya suatu hak. Contoh, seseorang yang dipaksa untuk menjual barangnya guna untuk perluasan jalan, masjid, pekuburan, nafkah istri atau orang tua­nya termasuk paksaan karena suatu hak.

Kedua, menurut madzab Hanafi bahwa akad yang dipaksa­kan oleh seseorang kepada orang lain dianggap sah, tetapi kedua belah pihak dapat memfasakh atau membatalkannya karena terdapat cacat hukum. Menurut mereka apabila seorang hakim memaksa orang lain menjual barangnya guna melunasi hutang­nya dengan perbedaan harga yang mencolok antara harga pasaran, jual beli tersebut dinyatakan fasid.

Ketiga, Ulama madhhab Maliki menyatakan bahwa jual beli tidak mempunyai kekuatan hukum apabila terdapat unsur paksaan tanpa hak. Paksaan tanpa hak menurut mereka terdapat dua macam, yaitu:

  • Paksaan untuk menjual, seperti seorang lalim memaksa orang lain untuk menjual seluruh atau sebagian barang­nya. Jual beli semacam ini tidak mempunyai akibat hukum, jadi penjual dapat meminta kembali barang yang dijual­nya dan harus mengembalikan harga barang tersebut, selama barang tersebut tidak rusak di tangan pembeli.
  • Paksaan karena suatu alasan yang akhirnya memaksa sese­orang untuk menjual barangnya, seperti seseorang memaksa orang lain menyerahkan sejumlah uang yang tidak mampu dia berikan. Akhirnya dia menjual barang miliknya untuk mendapatkan uang yang dimaksud. Jual beli semacam ini tidak disepakati menurut pendapat yang masyhur di kalang­an ulama Malikiyah. Jual beli yang demikian tidak mempu­nyai kekuatan hukum. Namun sebagian kalangan madzab Maliki ada yang berpendapat bahwa jual beli tersebut tetap mempunyai kekuatan hukum, karena dengan pertimbangan masih adanya kemaslahatan bagi penjual. Jalan keluar dari paksaan dari orang lalim yang meminta uang kepada orang lain yang tidak sanggup memberikannya sehingga dia dipenjarakan, adalah menjual barang yang dimiliki guna mendapatkan uang yang diminta orang lalim itu agar dia selamat dari derita bila dia dipenjara. Seandai­nya jual beli tersebut tidak sah, tidak ada seorangpun akan datang untuk membeli barang itu sehingga merugikan penjual karena dia harus masuk penjara. Oleh sebab itu proses jual beli tersebut telah disepakati sebagian besar madhhab Maliki, sebagai jual beli sah dan mempunyai kekuatan hukum." Atas dasar pernyataan di atas, menurut madzab Maliki, paksaan karena suatu hak tidak meng­halangi sahnya jual beli, bahkan menjadi wajib melaksana­kannya. Sebagai contoh, kepala negara dapat memaksa salah seorang gubemumya untuk menjual barang-barang miliknya untuk diberikan kepada rakyatnya sebagai ganti dari apa yang telah diambil secara lalim olehnya. Menurut mereka, sama hukumnya dengan kasus di atas apabila seorang hakim memutuskan untuk menjual barang orang yang berutang guna membayar hak orang yang berpiutang . 

Keempat, ulama madhhab Syafi'i berpendapat banwa jual beli yang di dalamnya terdapat unsur paksaan dianggap tidak sah. Namun menurut mereka, jenis paksaan menjual barang dapat dibagi menjadi dua:

  • Paksaan tanpa suatu hak, artinya seseorang memaksa orang lain padahal dia tidak punya hak untuk memaksa.
  • Paksaan karena suatu hak, seperti hakim atau pihak yang mempunyai wewenang memaksa orang lain untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya. Paksaan seperti ini tidak mencacatkan akad jual beli dan hukum akad tersebut adalah sah. 
Syarat-syarat dalam ma'qud alaih (objek akad) 

Ma'qud 'alaih (objek akad) adalah barang yang diperjualbelikan. Para ulama telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam ma'qud alaih ada empat macam. Sementara Sayyid Sabiq berpendapat bahwa syarat ma'qud 'alaih ada enam macam. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena pada dasarnya dua dari enam syarat ini telah tercakup pada empat syarat. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 

  • Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad berlangsung. Apabila barang tersebut tidak dapat diketahui, maka jual beli tidak sah. Untuk mengetahui­nya barang yang akan dibeli perlu dilihat sekalipun ukurannya tidak diketahui, kecuali pada jual beli salam. Jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang telah di­tetapkan sifat-sifatnya terlebih dahulu (namun barang belum diserahkan) dengan pembayaran kontan. Ada pun jual beli suatu barang yang tidak dapat dilihat ketika akad, boleh dilakukan dengan syarat bahwa sifat­-sifat barang tersebut disebutkan (dijelaskan), sehingga pembeli merasa yakin dengan sifat-sifat barang yang dijelaskan tersebut. Namun jika barang tersebut temyata berbeda dengan sifat-sifat yang disebutkan, maka si pembeli berhak untuk melakukan khiyar yaitu hak me­ milih antara meneruskan akad atau membatalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَاهُ

"Siapa yang membeli suatu barang yang tidak dapat dilihatnya, maka dia mempunyai hak khiyar apabila melihatnya" 

Penyebutan sifat yang jelas atau sifat yang diketahui menurut 'urf (adat) setempat juga berlaku terhadap barang-barang terjaga dengan baik (dalam kemasan), misalnya obat-obatan, tabung oksigen (gas), makanan atau minuman kaleng untuk dipetjualbelikan dalam keadaan tertutup kecuali akan digunakan. Karena apabila dijual dalam keadaan terbuka akan menimbulkan bahaya atau merusak kualitasnya.
  • Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga. Berharga yang dimaksud dalam konteks ini adalah suci dan halal ditinjau dari aturan agama Islam dan mempunyai manfaat bagi manusia. Berkaitan dengan suci bendanya, Rasulullah SAW. bersabda: 

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنزِيرِ وَالْأَصْنَامِ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا تَقُولُ فِي شَحْمِ الْمَيْتَةِ؟ يَسْتَعْمِلُهُ النَّاسُ فِي السُّفُنِ، وَيَدْهَنُونَ فِيهِ جُلُودَهُمْ، وَيَسْتَصْبِحُونَ بِهِ؟" فَقَالَ: "لَا هُوَ حَرَامٌ

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr (minuman keras), bangkai, babi, dan berhala. Rasulullah SAW ditanya: 'Apa yang Anda katakan tentang minyak bangkai? Orang-orang menggunakannya untuk kapal, melicinkan kulit, dan sebagai penerangan?' Rasulullah SAW menjawab: 'Tidak halal, itu adalah perbuatan haram." (HR. Muslim)

Para ulama telah berbeda pendapat terhadap pengerti­an hadits di atas. lbn Qayyim al-Jauziyah, mengatakan bahwa perkataan haram dari Rasul Saw. mengandung dua penafsiran yaitu perbuatan tersebut haram dan jual beli tersebut haram sekalipun pembeli membeli­nya untuk kepentingan tertentu selain dimakan. Kalang­an jumhur ulama berpendapat, barang tersebut diharam­kan karena dianggap najis. Sedangkan menurut kalang­an Hanafiyah dan Dhahiriyah, barang yang ada manfaatnya dibolehkan menurut syara'.Karena itu menurut mereka dibolehkan mempetjualbelikan kotoran najis yang benar-benar diperlukan untuk pupuk tanaman, bukan untuk dimakan atau diminum. Karena dalam riwayat lain diterangkan bahwa Ibn Umar pemah di­ tanya mengenai minyak yang kejatuhan tikus. Kemu­dian Ibn Umar mengatakan, "pakailah minyak itu untuk penerangan dan gorenglah lauk paukmu dengan minyak itu".

Adapun barang yang dijual harus ada manfaatnya, dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa boleh memperjualbelikan anjing untuk keperluan menjaga keamanan dari kejahatan dan menjaga tanaman. Sementara itu Atha' dan an-Nakha'i membolehkan menjual anjing hanya untuk kepentingan berburu saja, karena Rasulullah membolehkan memakan daging dari hasil anjing buruan saja.

  • Benda yang dipetjualbelikan merupakan milik pen­jual. Maka jual beli barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah. Benda tersebut dianggap sebagai milik penjualnya, apabila proses transaksi jual belinya diizinkan oleh pemiliknya. Proses jual beli yang tidak mendapat izin dari pemiliknya disebut jual beli fudhuli. Misalnya, seorang suami menjual barang milik istrinya yang tanpa izin darinya. Akad dalam proses jual beli  fudhuli tersebut menurut madzhab Maliki dianggap sah menurut hukum, tetapi kepastian hukumnya masih ditangguhkan sampai dibolehkan atau diizinkan oleh pemilik atau walinya. Apabila dia membolehkan­nya, maka jual beli tersebut sah, namun jika tidak, jual beli tersebut menjadi batal. Sehubungan dengan jual beli semcam ini terdapat sebuah hadits yang menerang­kan bahwa seorang sahabat bemama Urwah al-Bariqi berkata: 

"Rasul memberi saya satu dinar untuk membeli seekor kambing. Dengan uang tersebut saya mendapat dua ekor kambing. Saya jual salah satunya seharga satu dinar dan seekor lagi kuserahkan kepada Rasul beserta uang satu dinar tadi. Rasul bersabda : Allah memberkahi kamu dengan akad yang kamu lakukan"

  • Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad. Artinya benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad. Karena itu, ikan di air (kolam) tidak boleh diperjualbelikan karena tidak dapat diserah­ terimakan dan mengandung ketidakpastian. Bentuk penyerahan benda dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pada benda yang bergerak dan benda tidak ber­gerak. Teknis penyerahan benda bergerak dengan beber­apa macam, yaitu: 
    • Menyempumakan takaran atau ukurannya baik dengan takaran, timbangan dan sebagainya untuk menentukan ukuran sesuatu. 
    • Memindahkannya dari tempatnya jika termasuk benda yang termasuk benda yang tidak diketahui kadarnya secara terperinci kecuali oleh ahlinya, misal­nya benda yang dikemas dalam botol atau kaleng.
    • Kembali kepada 'urf (adat) setempat yang tidak disebutkan di atas.
    • Adapun penyerahan benda yang tidak dapat ber­gerak cukup mengosongkannya atau menyerah­kan surat atau sertifikasinya. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid sabiq.

01 November 2024

Khiyar Dalam Transaksi

Pengertian Khiyar 

Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh dua pihak yang berakad ('aqidain) untuk memilih antara meneruskan akad, atau membatalkannya dalam kyiyar syarat dan khiyar 'aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah benda dalam khiyar ta'yin. Sebagian khiyar adakalanya bersumber dari kesepa­katan seperti khiyar syarat dan khiyar ta'yin dan sebagiannya lagi bersumber dari ketetapan syara' seperti khiyar 'aib. 

Menurut Wahbah Az-Zuhaili ada tujuh belas macam khiyar, namun di dalam kitabnya dia hanya menyebutkan enam macam khiyar yang populer, sebagaimana yang akan diterang­kan berikut ini: 




Khiyar Majlis

Khiyar majlis adalah setiap 'aqidain mempunyai hak untuk memilih antara meneruskan akad atau mengurung­ kannya sepanjang keduanya belum berpisah. Artinya suatu akad belum bersifat lazim (pasti) sebelum berakhirnya majlis akad yang ditandai dengan berpisahnya 'aqdain atau dengan timbulnya pilihan lain. Namun khiyar majlis ini tidak berlaku pada setiap akad, melainkan hanya berlaku pada akad al­ mu'awadhah al-maliyah, seperti akad jual beli dan ijarah. Khiyar majlis dipegang teguh oleh fuqaha Syafi'iyah dan Hanabilah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim, sebagaimana sabda Rasulallah Saw:

"Dua pihak yang melakukan jual beli, memiliki hak khiyar (memilih) selama keduanya belum berpisah".

Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada khiyar majlis dalam jual beli, menurut mereka, akad telah dianggap sempuma dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan kabul. Karena itu khiyar majlis setelah terjadinya ijab dan kabul dianggap sebagai pelanggaran terhadap akad. Menurut mereka makna al-bai'ani diartikan (secara ta'wil) dengan proses tawar­ menawar sebelum ada keputusan akad, teks hadits maalam yatafarraqa dita'wilkan dengan "terputus lisan" tidak dengan pengertian "terputus secara badani". Artinya apabila ijab dan kabul telah terputus dengan perkataan lain, maka masing­ masing pihak dapat membatalkannya. Khiyar yang demikian.; ini menurut madhhab Hanafi disebut sebagai khiyar qabul atau khiyar ruju'.  

Khiyar Ta'yin

Khiyar ta'yin adalah hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara sifat atau harganya. Khiyar ini hanya berlaku pada akad mu'awadhah al-maliyah yang mengakibatkan perpindahan hak milik, seperti jual-beli. Keabsahan khiyar ta'yin menurut madhhab Hanafi hams memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

  1. Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad.
  2. Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan hams setara dan harganya hams jelas. Jika nilai dan sifat masing-masing benda berbeda jauh, maka khiyar ta'yin ini menjadi tidak berarti.
  3. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.

Adapun imam Syafi'i dan Ahmad lbn Hanbal menyang­kal keabsyahan khiyar ta'yin ini, dengan alasan bahwa salah satu syarat obyek akad adalah harus jelas.  

Khiyar Syarat

Khiyar syarat adalah hak 'aqidain untuk melangsungkan atau membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan ketika akad berlangsung. Seperti ucapan seorang pembeli "saya beli barang ini dengan hak khiyar untuk diriku dalam sehari atau tiga hari". Khiyar syarat ini hanya ber­laku pada jenis akad lazim yang dapat menerima upaya fasakh (pembatalan) seperti pada akad jual-beli, mudharabah, muzara'ah, ijarah, kafalah, musaqah, hiwalah dan lain-lain. Sedangkan khiyar ini tidak berlaku pada akad ghair lazim: seperti pada akad wakalah, 'ariyah, wadi'ah, hibah dan wasiah. Khiyar syarat ini juga tidak berlaku pada akad lazim yang tidak menerima upaya fasakh, seperti akad nikah, thalak dan khulu'. Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut ini: 

  1. Terjadi penegasan pembatalan atau penetapan akad.
  2. Batas waktu khiyar telah berakhir
  3. Terjadi kerusakan pada obyek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan berakhirlah khiyar. Namun jika kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan pembeli maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad.
  4. Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak, bertelur atau mengembang.
  5. Wafatnya sahib al-khiyar. Pendapat tersebut menurut pandangan Madhhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan menurut madhhab Syafi'i dan Maliki bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris menggantikan shahib al-khiyar yang wafat. 

Khiyar 'Aib

Khiyar 'Aib adalah hal yang dimiliki oleh salah seorang dari 'aqidain untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak memberitahukannya pada saat akad . Khiyar 'aib ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah Saw: 


"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang muslim menjual (barang) yang mengandung cacat ('aib) kepada saudaranya kecuali jika dia menjelaskan (adanya cacat) kepadanya"

Khiyar 'aib harus memenuhi persyaratan sebagai ber­ ikut:
  • Aib (cacat) tetjadi sebelum akad, atau setelah cacat namun belum terjadi penyerahan. Jika cacat tersebut tetjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam peng­uasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar.
  • Pihak pembeli tidak mengetahui cacat tersebut ketika berlangsung akad a tau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya setelah mengetahui­nya, maka tidak ada hak khiyar baginya.
  • Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jaw ab terhadap segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti ini, maka hak khiyar pembeli menjadi gugur.
Hak khiyar 'aib ini berlaku semenjak pihak pembeli me­ngetahui adanya cacat setelah berlangsung akad. Adapun mengenai batas waktu untuk menuntut pembatalan akad ter­dapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktu berlakunya, ber­laku secara tarakhi. Artinya pihak yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika dia mengetahui cacat ter­sebut. Namun menurut fuqaha Malikiyah dan Syafi'iyah batas waktunya berlaku secara faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus segera menggunakan hak khiyar secepat mungkin, jika dia mengulur-ulur waktu tanpa memberikan alasan, maka hak khiyar menjadi gugur dan akad dianggap
telah lazim (sempurna). Hak khiyar 'aib gugur apabila berada dalam kondisi berikut ini: 
  • Pihak yang dirugikan merelakan setelah dia menge­ tahui cacat tersebut
  • Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pem­batalan akad
  • Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam peng­uasaan pihak pembeli
  • Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli, baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun segi ukuran seperti mengembang. 
Khiyar Ru'yah

Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasnya. 

Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Namun menurut Imam Syafi'i khiyar ru'yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada di tempat) sejak se­mula dianggap tidak sah. Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru'yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits: 

"Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya."

Khiyar Naqd

Khiyar Naqd tersebut terjadi apabila dua pihak melaku­kan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, a tau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugi­kan mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melang­sungkan akad.



30 Oktober 2024

Perikatan Dan Perjanjian (Al 'Aqd)

PERIKATAN DAN PERJANJIAN (AL-'AQD) 

Pengertian Akad

Perikatan dan perjanjian dalam konteks fiqh mu'amalah dapat disebut dengan "akad". Kata akad berasal dari bahasa Arab yaitu al-'aqd bentuk jamaknya adalah al-'uqud yang mempunyai beberapa arti antara lain: 

Pertama, Mengikat (Ar-Rabith), yaitu:

جَمْعُ طَرَفَيْ حَبْلَيْنِ وَ يَشُدُّ اَحَدُهُمَا بِالْأَخَرِ حَتَّى يَتَّصِلا فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
"Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda." 

Kedua, Sambungan (al-'aqd), yaitu:

الْمَوْصِلُ الَّذِى يُمْسِكُهُمَا وَ يُؤَسِّكُهُمَا
"Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya." 

Ketiga, Janji (al-'ahd), sebagaimana yang dijelaskan AI-Qur'an dalam surat Ali Imran 76:
 
بَلٰى مَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ وَاتَّقٰى فَاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
"(Bukan demikian), sebenarya siapa yag menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa. Maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian akad paling tidak mencakup: 

  1. Perjanjian (al-'ahd)
  2. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
  3. Perikatan (al-'aqd)
Adapun secara istilah (terminologi) ada beberapa definisi (pengertian) akad, pengertian tersebut antara lain:

اِرْتِبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثْرَهُ فِيْ مَحَلِّهِ
"Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang berpengaruh pada objek periktan"

مَجْمُوْعُ إِيْجَابِ أَحَدِ الطَّرَفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الْأَخَرِ اَوِ الْكَلَامُ الْوَاحِدُ الْقَائِمُ مَقَامَهُمَا
"Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak"

مَجْمُوْعُ الْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ إِدَّعَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا مَعَ ذَلِكَ الْإِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
"Terkumpulnya persyaatan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum"

رَبْطُ أَجْزَاءِ التَّصَرُّفِ بِالْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ شَرْعًا
"Ikatan atas baguan-bagian tashorruf menurut syara' dengan cara serah terima"

Dalam akad pada dasarnya dititikberatkan pada kese­pakatan antara dua belah pihak yang ditandai dengan ijab­ qabul. Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara'. Karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepa­katan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari'ah Islam. 


Rukun-Rukun Akad 
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha ber­kenaan dengan rukun akad. Menurut jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas;
  1. 'Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dua orang atau lebih. Pihak yang berakad dalam transaksi jual bell di pasar biasanya terdiri dari dua orangyaitu pihak penjual dan pembeli. Dalam hal warisan, misalnya ahli waris bersepakat untuk mem­berikan sesuatu kepada pihak lain, maka pihak yang diberi tersebut boleh jadi terdiri dari beberapa orang.
  2. Ma'qud 'Alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang ada dalam transaksi jual beli, dalam akad hibah, dalam akad gadai dan bentuk-bentuk akad lainnya.
  3. Shighat al 'Aqd yang terdiri dari ijab dan qabul. Pengertian ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya da­lam mengadakan akad. Sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang lain, yang diucapkan setelah adanya ijab. Ada pun pengertian ijab-qabul pada sekarang ini dapat dipahami sebagai bentuk bertukamya sesuatu dengan yang lain, sehingga sekarang ini berlangsungnya ijab-qabul dalam transaksi jual beli tidak harus berhadapan (bertemu langsung). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-'aqd ialah: 
    • Shighat al-'aqd harus jelas pengertiannya, maka kata­-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak menimbul­kan banyak pengertian (bias), misalnya seseorang meng­ucapkan "aku serahkan benda ini". Kalimat tersebut masih belum dapat dipahami secara jelas, apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan atau titipan. 
    • Antara ijab dengan qabul harus bersesuaian, maka tidak boleh antara pihak berijab dan menerima (qabul) berbeda lafadh, sehingga dapat menimbulkan perseng­ketaan, misalnya seseorang mengatakan "aku serahkan benda ini sebagai titipan", kemudian yang mengucapkan qabul berkata "aku terima benda ini sebagai pemberian".
    • Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak­-pihak yang bersangkutan tanpa adanya unsur paksaan atau ancaman dari pihak lain.  
Sementara itu fuqaha dari kalangan Hanafiyah berpen­dapat bahwa rukun jual-beli itu hanya berupa shighat al-'aqd (ijab dan qabul). Menurut mereka 'aqid dan ma'qud 'alaih bukan termasuk rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Perbedaan ini timbul akibat perbedaan mereka dalam memahami antara pengertian rukun dan syarat.  Makna rukun menurut kalangan ahli fiqh dan ahli ushul fiqh: 

"Sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhili) dari sesuatu yang ditegakkannya"

Sesuai dengan pengertian di atas, maka rukun akad ada­lah kesepakatan antara dua belah pihak yaitu ijab dan qabul. Sedangkan pihak pelaku ijab dan qabul (menurut pengertian di atas) tidak termasuk dalam rukun dari perbuatannya, karena pelaku tidak termasuk bagian internal (dakhili) dari perbuat­annya. Sebagaimana seseorang melakukan ibadah sholat, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai rukun shalat. Namun demikian sebagian fuqaha seperti al-Ghazali (seorang ulama Syafi'iyah) dan Syihab al-Karakhi (seorang ulama Malikiyah) berpendapat bahwa 'aqid sebagai rukun akad dengan pengerti­an dia merupakan salah satu dari pilar utama dalam tegaknya kad.'

Adapun pengertian syarat menurut fuqaha dan ahl al­ ushul adalah:
 
"Segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal" 

Maksud dengan tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyruth (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyruth. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahl al ushul adalah

"Setiap peristiwa yang mana syara' mengaitkannya terhadap ada dan tidaknya sesuatu yang lain sedang ia bersifat eksternal".

Dengan demikian antara rukun, syarat dan sebab, meru­pakan bagian yang sangat penting bagi suatu akad. Bedanya rukun bersifat internal, sedangkan syarat dan sebab bersifat eksternal. Adapun perbedaan antara syarat dengan sebab ada­lah bahwasanya sebab selalu dikaitkan dengan ada dan tiada­nya musyabab, sedangkan syarat dikaitkan dengan tiadanya masyruth, tidak dikaitkan dengan masyruth

Syarat-syarat Akad 
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentu­kan syara' yang wajib disem purnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam: 
  1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
  2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pemikahan. 
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad: 
  1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap (orang gila, orang yang ber­ada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya) akadnya tidak sah.
  2. Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
  3. Akad itu diizinkan oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan 'aqid yang memiliki barang.
  4. Akad bukan jenis akad yang dilarang, sepeti jual-beli mulamasah (akad jual beli dimana pembeli wajib membeli jika menyentuh barang).
  5. Akad dapat memberikan faedah, maka tidaklah sah apabila akad rahn dianggap sebagai amanah.
  6. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab' tersebut dicabut (dibatalkan) sebelum adanya qabul.
  7. ljab dan qabul harus bersambung, jika seseorang melaku­kan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal). 

Macam-Macam Akad 
Adapun yang termasuk macam-macam akad adalah: 
  1. Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pemyataan akad yang diikuti dengan pelaksanan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
  2. 'Aqad Mu'alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang di­akadkan setelah adanya pembayaran. 
  3. 'Aqad Mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penangguhan pelaksana­an akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkataan tersebut sah di­lakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. 
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan, yaitu:  
  • Dalam keadaan muwadha'ah (taljih), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya, dalam ha! ini ada tiga bentuk: 
    1. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja, untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut dijual, seperti menjual harta untuk menghindari penguasa yang dhalim atau menjual harta untuk menghindari pembayaran hutang, ha! ini disebut mu'tawadhah. 
    2. Mu'awadhah terhadap benda yang digunakan untuk akad, seperti dua orang bersepakat menyebutkan mahar dalam jumlah yang besar dihadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita sepakat menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenar­nya telah sepakat dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga muwadha' fi al-badal
    3. Mu'awadhah pada pelaku (isim mustatir), ialah sese­orang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas nama­nya sendiri yang sebenarnya barang tersebut untuk keperluan orang lain, Seperti seseorang membeli mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperlu­an-keperluan lainnya, setelah selesai semuanya baru dia mengumumkan bahwa akad yang telah dilaku­kan sebenarnya untuk orang lain, pembeli sebenarnya hanya merupakan wakil dari pembeli yang sebenar­nya, hal ini disebut wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
  • Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main­ main, mengolok-olok (istihza') yang tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl terwujud dalam beberapa bentuk antara lain dengan muwadha'ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad, bahwa akad tersebut hanya main-main, a tau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; buku ini pura-pura saya jual kepada Anda" atau dengan cara lain yang menunjukkan adanya qarinah hazl
Kecederaan-kecederaan kehendak ialah karena:  
  • Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
  • Khilabah, ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda.
  • Ghalath, ialah persangkaan yang salah, seperti sese­orang membeli sepeda motor, dia menyangka sepeda motor tersebut masih dalam kondisi normal (baik), tetapi ternyata sepeda motor tersebut sudah turun mesin (rusak).

Disamping akad munjiz, mu'alaq dan mudhaf, pada dasar­nya macam-macam akad masih banyak jenisnya, tergantung dari sudut tinjauannya. Perbedaan-perbedaan tinjauan akad dapat diklasifikasikan dari segi: 
  • Ada dan tidaknya qismah pada akad, dalam segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
    • Akad musammah yaitu akad yang tel ah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual-beli, hibah, ijarah dan lain-lain.
    • Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetap­kan oleh syara' dan belum ditetapkan hukum-hukum­nya. 
  • Disyari'atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad dibagi menjdi dua bagian: 
    • Akad musyara'ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara' seperti gadai dan jual-beli.
    • Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual ikan dalam kolam atau anak binatang masih dalam perut induknya. 
  • Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi men­jadi: 
    • Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum ataupun khusus.
    • Akad fasidah yaitu akad-akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, baik dalam syarat umum ataupun khusus. 
  • Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad dibagi menjadi: 
    • Akad 'ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barangnya, seperti jual-beli. 
    • Akad ghair 'ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa disertai dengan penyerahan barangpun akad telah berhasil, seperti akad amanah. 
  • Akad ditinjau dari segi cara melakukannya, terbagi:
    • Akad yang harus dilakukan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan yang harus dihindari oleh dua orang saksi, wali maupun petugas pencatat nikah.
    • Akad ridha'iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan tetjadi karena kedua belah pihak saling meridhai, seperti yang terjadi pada akad umum­nya.
  • Berlaku dan tidaknya akad, dari segi mni dapat terbagi menjadi dua bagaian: 
    • Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
    • Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui oleh pemilik harta). 
  • Luzm dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat: 
    • Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh. Tetapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara' seperti thalak dan khulu'.
    • Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetuju­an jual-beli dan akad-akad lainnya. 
    • Akad lazim yang menjadi hal salah satu pihai, sepeerti rahn, orang yang menggadaikan sesuatu benda punya kebebasan kapan saja dia dapat melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
    • Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang menerima titipan atau orang yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
  • Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian:
    • Akad mu' awadhah yaitu yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual-beli.
    • Akad tabarru'at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah.
    • Akad yang tabarru'at pada awalnya dan menjadi akad mu'awadhah pada akhimya seperti qiradh dan kafalah. 
  • Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian: 
    • Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qiradh.
    • Akad amanah yang tanggung jawab kerusakan oleh pemilki benda, bukan oleh pihak yang memegang barang, seperti titipan (wadi'ah).
    • Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, dari segi yang lain meru­pakan amanah, seperti rahn (gadai).
  • Tujuan akad yaitu dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan: 
    • Bertujuan memiliki (tamlik), seperti jual-beli.
    • Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (per­kongsian) seperti syairkah dan mudharabah.
    • Bertujuan memperkokoh kepercayaan (tautsiq) saja, seperti rahn dan kafalah.
    • Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
  • Temporer (faur) dan berkesinambungan (istimrar), dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: 
    • Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksana­annya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksana­an akad hanya sebentar saja (temporer), seperti jual­beli. 
    • Akad istimrar disebut juga akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti 'ariyah. 
  • Ashliyah dan thabi'iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
    • Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa me­merlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual­ beli. 
    • Akad thabi'iyah yaitu akad yang membutuhkan ada­nya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada hutang. 

Akad dan Konsekuensi Hukumnya
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai rukun-rukun akad, dimana rukun-rukun akad tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan. Secara garis besar persyarat­an rukun akad dapat dikelompokkan menjadi empat macam: 
  1. Syarat in'iqad yaitu persyaratan yang berkenaan dengan berlangsung atau tidak berlangsungnya akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi keberadaan akad. Karena itu jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka akibatnya akad menjadi batal (gagal). Persyaratan yang termasuk kategori ini adalah persyaratan akad yang berifat umum berlaku pada setiap unsur akad (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya). Sedangkan sejumlah per­syaratan khusus berlaku pada akad-akad tertentu. Misalnya saksi dalam akad nikah dan serah terima dalam akad 'ainiyah (kebendaan) dan lain-Iain.
  2. Syarat shihah (sah) adalah syarat yang ditetapkan oleh syara' yang berkenaan dengan ada atau tidaknya akibat hukum. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akadnya menjadi rusak (fasad). Contoh persyaratan jenis ini, dalam hal jual-beli yang sangat populer dalam madhab Hanafi adalah keharusan terhindamya akad dari enam perkara yaitu jihalah (tidak transparan), ikrah, tauqit (batas waktu tertentu), dharar dan syarat fasid."
  3. Syarat nafadh adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara' berkenaan dengan belaku atau tidak berlakunya sebuah akad. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi akadnya menjadi mauquf (ditangguhkan). Syarat nafadh ada dua: Pertama, milik atau wilayah, artinya orang-orang yang me­lakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau dia mempunyai otoritas atas obyek akad. Kedua, obyek akad harus terbebas dari hak-hak pihak ketiga. 
  4. Syarat luzum yaitu persyaratan yang ditetapkan oleh syara' berkenaan dengan kepastian sebuah akad, karena akad sendiri adalah sebuah ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum dapat dipastikan berlakunya seperti masih ada unsur-unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghair luzum (tidak pasti), sebab masing-masing pihak masih mempunyai hak untuk tetap melangsungkan atau membatalkan akadnya. 

Berakhirnya Akad 
Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad  mauquf. 
  • Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-ha! yang menye­babkan timbulnya fasakhnya akad adalah sebagai berikut: 
    • Fasakh karena akadnya fasid (rusak), yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid, seperti akad pada bai' al-mu'aqqat atau bai' al-majhul. Maka akad harus difasakh oleh para pihak yang berakad atau oleh keputus­an hakim. 
    • Fasakh karena khiyar. Pihak yang mempunyai wewe­nang khiyar berhak melakukan fasakh terhadap akad jika menghendaki, kecuali dalam kasus khiyar 'aib setelah penyerahan barang.
    • Fasakh berdasarkan iqalah, yaitu terjadinya fasakh akad karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
    • Fasakh karena tidak ada realisasi. Fasakh ini hanya ter­jadi pada khiyar naqd, misalnya karena rusaknya obyek akad sebelum penyerahan. 
    • Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisasi . Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir, atau tujuan akad telah terealisasi, maka akad dengan sendirinya menjadi fasakh (ber­akhir). 
  • Berakhirnya akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Akad yang fasakh karena kematian adalah sebagai berikut: 
    • Akad dalam ijarah: Menurut Hanafiyah, kematian seseorang menyebab­kan berakhimya akad ijarah. Alasan mereka, karena ijarah merupakan akad kedua belah pihak, maka jika salah satu pihak meninggal dunia, dengan sendirinya akad akan berakhir. Namun jumhur berpendapat, bahwa kematian tidak dapat menyebabkan berakhir­nya akad.
    • Akad dalam rahn dan kafalah: Akad dalam dua transaksi ini merupakan akad yang lazim, karena itu jika pihak penggadai barang (rahin) meninggal dunia maka barang gadai harus segera dijual untuk melunasi hutang. Sedangkan dalam akad kafalah, apabila orang yang berhutang meninggal dunia tidak mengakibatkan berakhimya kafalah, tetapi jika ada hutang yang masih belum terbayar harus dilakukan perlunasan hutang atau tanggung jawabnya dilimpah­kan kepada pihak lain. 
    • Akad dalam syirkah dan wakalah Akad syirkah akan berakhir dengan kematian seseorang, jika anggotanya tidak lebih dari dua orang, namun apa­bila anggotanya lebih dari dua orang akad, maka akad syirkah akan tetap berlangsung bagi para anggota yang masih hidup. Hal ini juga berlaku bagi akad dalam wakalah. 
  • Berakhirnya akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai we­wenang tidak mengizinkannya atau meninggal dunia sebelum dia memberikan izin. 

Sumber Referensi:
  • Ibnu 'Abidin, Radd AL Mukhtar 'Ala Ad Dur Al Mukhtar, (Mesir, Al amriyah, tt)
  • Mustafa Ahmad Az Zarqa', Al Madkhal Al Fiqhi Al 'Am Al Islami Fi Tsaubihi Al Jadid (Beirut, Dar Al Fiqr, 1968)
  • Ad Dardir, Asy Syarh Al Kabir 'Ala Hasyiyyah Ad Dasuqi, (Beirut, Dar Al Fikr, tt)
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000).
  • Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986)
  • Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Teras, 2011)

29 Oktober 2024

Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS (RP2B) 2024 - 2027

 

Bismillah,

Industri BPR dan BPRS akan selalu dihadapkan pada tantangan, baik tantangan global dan domestik yang bersumber dari eksternal, maupun tantangan struktural yang bersumber dari internal BPR dan BPRS. Adopsi teknologi informasi di bidang keuangan yang semakin masif berdam​pak pada perubahan perilaku, ekspektasi, dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR dan BPRS. Selain itu, BPR dan BPRS juga menghadapi persaingan yang semakin ketat khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen mikro dan kecil, yang diiringi dengan potensi peningkatan risiko kredit atau pembiayaan.

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), BPR dan BPRS memperoleh ruang yang lebih luas untuk berkembang melalui penguatan kelembagaan, serta perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS. Meluasnya kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS tentunya tidak luput dari berbagai risiko yang menyertai. Untuk itu, BPR dan BPRS diharapkan memiliki struktur yang lebih kuat untuk mampu menyerap potensi risiko tersebut sehingga dapat memanfaatkan kesempatan dari UU P2SK agar lebih berkembang.

RP2B 2024-2027 memuat arah pengembangan dan penguatan struktural sebagai respon terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh industri BPR dan BPRS ke depan, baik dari sisi internal maupun eksternal industri BPR dan BPRS. Secara umum, RP2B terdiri atas 4 (empat) pilar utama, yaitu:

  1. Penguatan struktur dan daya saing,
  2. Akselerasi digitalisasi BPR dan BPRS,
  3. Penguatan peran BPR dan BPRS terhadap wilayahnya, dan
  4. Penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan.

Serta empat perangkat pendukung (enabler) yang terdiri dari:

  1. Kepemimpinan dan manajemen perubahan,
  2. Kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM),
  3. Infrastruktur Teknologi Informasi, dan
  4. Kolaborasi dan kerja sama sektoral/interdep.
RP2B sebagai peta jalan arah kebijakan bagi BPR dan BPRS memiliki fokus utama pada upaya untuk memperbaiki isu-isu fundamental pada BPR dan BPRS, sehingga industri BPR dan BPRS mampu memanfaatkan peluang sekaligus mengelola risiko dengan adanya perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Fokus utama tersebut dituangkan dalam quick wins kebijakan, yaitu melalui penguatan permodalan dan akselerasi konsolidasi bagi industri BPR dan BPRS, serta kemudian dilanjutkan dengan penguatan penerapan tata kelola yang baik untuk mendukung bisnis BPR dan BPRS yang berintegritas dan berkelanjutan.

RP2B 2024-2027 ini merupakan living document yang dapat terus disesuaikan dengan dinamika industri BPR dan BPRS serta ekosistem industri jasa keuangan, sehingga dapat direspon dengan kebijakan yang relevan dan tepat waktu dalam mendukung penguatan daya tahan dan daya saing industri BPR dan BPRS.

Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS (RP2B) 2024 - 2027 (Download)

Akad - Akad Dengan Prinsip Sewa Menyewa

Berikut beberapa jenis akad-akad dengan Prinsip Sewa Menyewa yang umum digunakan di masyarakat atau praktek diperbankan syariah. ...