Muayyan
Dalam hal ini, objek transaksi sudah ada pada saat akad dilangsungkan, objek spesifik dan tertentu, dapat dilihat dan bisa
dihadirkan pada saat dilaksanakan, karena bisa saja pada saat akad dilaksanakan barang tidak berada di majelis akad. Misalnya mobil Daihatsu terios, Motor Nmax,
Pulsa Telkomsel denom 100.000,- dan seterusnya. Jenis transaksi semacam ini
disebut Transaksi yag objek bersifat Muayyan.
Mausuf Fi Dzimmah
Dalam hal ini, objek transaksi belum ada pada saat dilaksanakan, bersifat pesanan, butuh pengadaan terlebih dahulu baik dengan cara dibuat atau mencari barangnya terlebih dahulu, namun barang bisa dijelaskan berdasarkan spesifikasi dan kriterianya. Barang diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati pada saat akad. Misal pesan mobil Pajero Sport, Jenis Bahan Bakar Diesel, Kapasitas mesin 2477 cc, Warna Hitam atau Pesan paket perjalan wisata dengan spesifikasi tertentu, atau memesan buah kurma dengan jenis tertentu dan seterusnya. Jenis transaksi semacam ini disebut transaksi yang objeknya bersifat Mausuf Fi Dzimmah.
Ketentuan Transaksi tehadap
Objek Muayyan dan Mausuf Fi Dzimmah
Akad yang objeknya bersifat mu’ayyan (baik jual beli barang maupun sewa menyewa terhadap manfaat atau jasa) hukumnya boleh, namun terdapat ketentuan bahwa OBJEK ITU TELAH DIMILIKI oleh Penjual (Personal Property) atau Penjual mendapat izin atau kuasa (wakil) dari pemilik untuk menjualkannya (Delegated Property) sebelum dijual kepada pembeli. Misalnya Si A menjual Mobil Terios miliknya kepda Si X atau Si B atas kuasa si A menjualkan mobil Terios milik Si A kepada Si X. Hal semacam ini diperbolehkan. Kecuali jika Sang Penjual tidak memiliki Mobil tesebut atau tidak mendapatkan kuasa dari Sang Pemilik kemudia dijual kepada pihak lain maka tidak dibolehkan.
Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Hadits Nabi Saw:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual barang yang
tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad).
Olehkarenanya transaksi (baik jual beli ataupun sewa), si Penjual atau Pemberi Sewa harus memiliki barang atau manfaat/jasa sebelum dia menjual kepada pembeli atau penyewa (Ready Stock). Contohnya dalam akad Bai', Murabahah, Ijarah.
Sementara untuk akad yang objeknya bersifat belum ada (Mausuf Fidz Dzimmah) boleh dilakukan meskipun si Penjual atau Pemberi sewa belum memiliki barang atau manfaat barang/jasa (ma’dum).
Dalam akad dengan prinsip jual beli, transaksi semacam ini (yang belum ada barangnya pada saat akad) disebut Akad Salam atau Istishna'. Sedangkan dalam akad Ijarah disebut sebagai Ijarah Al Mausuf Fid Dzimmah.
- Akad Salam adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan atas suatu barang dengan kriteria tertentu yang harganya wajib dibayar tunai pada saat akad.
- Akad Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan suatu barang (ada proses produksi) dengan kriteria tertentu yang pembayaran harganya berdasarkan kesepakatan antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual (pembuat/shani').
- Akad Ijarah Al Mausuf Fi Dzimmah adalah Akad Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah adalah akad sewa menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas).
Kebolehan akad salam
sebagaimana telah dipraktekkan oleh para sahabat sebelum Nabi SAWhijrah ke Madinah. Beliau membolehkannya, namun dengan batasan tertentu.
Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa
Nabi SAW tiba di Kota Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi
salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengarahkan,
مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Siapa yang melakukan transaksi
salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran
yang pasti, sampai batas waktu yang pasti.” (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).
Sedangkan akad Istishna
diperbolehkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Saw yang
pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم
كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ
يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ
فِضَّةٍ. قَالَ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Diriwayatkan dari sahabat
Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hendak menuliskan surat kepada seorang raja non-arab, lalu dikabarkan kepada
beliau: Sesungguhnya raja-raja non-arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan
perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau
putih di tangan beliau.” [Riwayat Muslim].
Beberapa ketentuan dalam akad
yang objeknya Mausuf Fi Dzimmah seperti akad Salam, Istishna’
ataupun Ijarah Al Mausuf Fi Dzimmah diantaranya:
Pertama, objek barang yang dijual atau dibeli tersebut
harus dapat dijelaskan sifat, karakteristik, takaran (jika barang
yang ditakar), terukur spesifikasinya (ma'lum mundhabith) dan waktu
penyerahannya harus jelas. Hal terebut agar menghindari terjadinya gharar
(ketidak jelasan)
Kedua, Pembayaran
dilakukan secara tunai dan lunas pada saat akad dilaksanakan yakni untuk akad
Salam sedangkan untuk Akad Istishna’ dan Ijarah mausuf Fi Dzimmah dimana
pembayaran boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai
kesepakatan. Pendapat lain ada yang menisbatkan akad Ijarah Mausuf Fi Dzimmah
kepada akad salam sehingga pembayarannya harus tunai dan lunas di awal pada
saat akad.
Ketiga, pembeli harus memiliki kemampuan untuk
mengadakan barang sesuai dengan waktu yang telah disepakai dengan
pembeli/pemesan.
Sehingga dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan beberapa implikasi dan Pelajaran yang dapat diambil diantaranya:
Jika Anda bertindak sebagai Penjual Perhatikan Hal Berikut!!
A. Jika Anda Memiliki Barang
- Jika Anda hendak menjual suatu barang atau manfaat/jasa yang telah anda memiliki dan dapat dihadirkan saat akad (muayyan) maka tidak ada batasan apapun selain anda telah memiki barang tersebut, yang menjadi tolak ukur adalah keridhaan para pihak.
B. Jika Anda Tidak Memiliki Barang
- Jika anda tidak memiliki barang atau manfaat/jasa yang akan dijual, namun anda memiliki potensi untuk menjualkan barang orang lain. Misalnya anda bermaksud untuk menjadi reseller dari pihak Pemasok (supplier) baik di online (marketplace) atau di manapun tanpa perlu melakukan stocking (menyediakan barang), namun hanya memasarkan barang saja yang dimiliki oleh Pemasok (Supplier), maka syaratnya adalah anda harus mendapatkan izin atau kuasa (tawkil/Wakalah) untuk menjualkan barang tersebut. Tidak boleh secara langsung anda memasarkan seakan-akan memiliki barang tersebut dan tidak pula mendapatkan izin untuk memasarkannya. Jika anda lakukan maka termasuk ke dalam larangan hadits menjual barang yang belum dimiliki. Namun jika anda mendapatkan izin untuk memasarkan dan menjualkan barang tersebut dari Pemasok (Supplier) maka transaksi semacam ini tidak terkena larangan hadits nabi Saw tersebut karena posisi anda adalah sebagai pihak penerima kuasa untuk menjualkan barang (Wakil) sedangkan Pemilik barang adalah Pihak Pemberi Kuasa (Muwakkil). Dalam akad Wakalah status Penerima Kuasa adalah sama seperti Pihak Pemberi Kuasa.
- Jika Anda tidak memiliki barang, dan tidak pula mendapatkan izin untuk memasarkan dari pemasok (Supplier), namun anda bermaksud untuk memasarkan dan menjual barang tersebut berupa gambar dan spesifikasinya saja dan nantinya jika ada pembeli yang memesan (Pre Order), anda akan memesan kepada Pemasok (supplier) yang ada di pasaran maka ketika itu dilakukan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan: (a) Anda wajib menyampaikan kepada Calon Pembeli/Pemesan bahwa Anda tidak/belum memiliki barang yang pasarkan (not ready stock) sehingga anda perlu memesan terlebih dahulu kepada Pemasok (supplier) dan statusnya adalah Purchase Order (PO). Jangan bertindak seakan-akan anda telah memiliki barang tersebut karena jika dilakukan akan termasuk ke dalam larangan menjual barang yang belum dimiliki. (b) menjelaskan spesifikasi barang dengan detail baik sifat dan karakteristiknya secara jelas termasuk waktu penyerahan barang yang disepakati, agar mengindari terjadinya sengketa. (d) Jika akadnya Salam maka Pembayaran Wajib Tunai dan Lunas di awal, tidak boleh dicicil atau secara bertahap. Sedangkan jika Akadnya adalah Istishna' atau IMFZ pembayaran sesuai kesepakatan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Allahu a’lam.